![]() |
| RES Fobia, SH, MIDS., Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik UKSW |
Di awal tahun 2020 ini hubungan bilateral antara
Indonesia dengan China kembali memanas. Pasalnya terjadi pelanggaran Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang
dilakukan oleh nelayan China dengan mencari ikan secara ilegal dan Coast Guard China yang masuk ke Perairan Natuna. China menyatakan kawasan yang dilewati nelayan
serta Coast Guard negaranya adalah wilayahnya sendiri. Batas wilayahnya adalah
9 Garis Putus-putus (9 Dash Line) yang dibikin sejak 1947. Masalahnya, 9 Garis Putus-putus yang diklaim China
sebagai batas teritorinya itu menabrak teritori negara lain, termasuk menabrak
Perairan Natuna milik Indonesia. Kemlu RI kemudian memanggil Duta Besar China di
Jakarta dan menyampaikan protes keras terhadap pelanggaran kedaulatan negara.
Nota diplomatik juga disampaikan ke China.
Mencermati persoalan ini, pengamat hukum dan kebijakan
publik Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, RES Fobia, SH., MIDS
mengatakan protes yang dilakukan oleh Pemerintah RI karena memiliki dasar
keberdayaan maka Indonesia perlu melakukan Strategic
Response terkait diplomasi tentang Laut Natuna Utara. Dasar keberdayaan ini
terutama berdasarkan Hukum Internasional bahwa Indonesia memiliki hak berdaulat
berupa ZEE. Secara hukum, hak berdaulat adalah hak yang diakui dan diberikan
oleh Hukum Internasional. Berbeda dengan kedaulatan yang berarti kekuasaan
penuh, misalnya pada laut wilayah, hak berdaulat ini memang terbatas, tetapi
memiliki beberapa ruang lingkup yang tidak bisa dibantah.
“Misalnya: hak untuk berlayar, hak untuk terbang pada
ruang udara di atas ZEE itu, hak untuk menangkap ikan, hak untuk memasang pipa
dan kabel bawah laut, dan hak untuk melakukan penelitian ilmiah kelautan.
Sementara itu, masih berdasarkan Hukum Internasional, klaim Tiongkok atas
sembilan garis putus-putus (nine dash
line) dan perairan terkait (relevant
waters), yang menjadai dasar sepihak aktifitasnya di Laut Natuna Utara,
senyatanya tidak dikenal dalam UNCLOS - 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea). Kepastian hukum
ini bahkan telah tampak dalam Putusan
Yudisial melalui Rulling Tribunal UNCLOS
Tahun 2016,” terang RES Fobia yang juga mengampu mata kuliah Hukum Laut
Internasional.
Perlu diketahui bahwa secara geografis, bumi mempunyai
luas kurang lebih 200 juta mil persegi. 70% atau 14 juta mil persegi terdiri
dari air. Dari jumlah tersebut 97% atau 135.800. 000 mil persegi merupakan air
asin, dan 3% atau 4.200.000 mil persegi merupakan air tawar. Secara topografis,
laut dapat dibagi atas dataran kontinen (continental
shelf) dengan kedalaman sampai kira-kira 200 meter; lereng/landai kontinen
(continental slope) dengan kedalaman
antara 200 meter sampai dengan 2000 meter; kaki/ujung kontinen (continental rise) dengan kedalaman
antara 2000 meter sampai dengan 3000 meter; dasar laut dalam (abyssal plain) dengan kedalaman antara
12.000 kaki sampai dengan 18.000 kaki; dan lembah-lembah yang dalam dan
curam/palung (through/trench) dengan kedalaman antara 20.000
kaki sampai dengan 36.000 kaki.
RES Fobia berpendapat kegunaan rangkap laut yaitu sebagai
jalur pelayaran dan sumber energi, menjadikannya sebagai matra kehidupan yang
sangat penting. “Hal ini sekaligus menjadi alasan pentingnya Hukum Laut dengan
berbagai variannya seperti Hukum Maritim, terutama untuk mengatur persaingan
umat manusia dalam mendayagunakan laut. Di samping sebagai jalur pelayaran,
kekayaan alam laut adalah faktor utama di balik persaingan negara-negara dalam
mendayagunakan laut,” ungkap wakil dekan FH UKSW ini.
RES Fobia yang juga alumni Graduate School of Policy
Studies, Kwansei Gakuin University, Japan ini menjelaskan Strategic Response yang bersifat internal dan eksternal. “Pertama, secara internal, hal ini
menyangkut tanggungjawab pemerintah dan masyarakat Indonesia atas urgensi perlindungan
hukum terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pemenuhan
kesejahteraan masyarakat Indonesia berdasarkan pengelolaan atas Laut Natuna
Utara. Perlindungan hukum ini berwujud kerja dan tanggungjawab dalam penataan
kewilayahan, pemerintahan, pembangunan, hubungan sosial, dan kreativitas
penciptaan mutu dan daya saing. Perlindungan Hukum ini bermakna menghadirkan
ketahanan dan keamanan kepada masyarakat dan wilayah NKRI dari gangguan pihak lain
atau keadaan buruk tertentu,” katanya.
Lebih lanjut RES Fobia menjabarkan, “misalnya, konsepsi poros
maritim dunia sebenarnya masih belum tampak jelas aktualisasinya. Padahal,
meminjam analisis dua pakar Singapura, Vibhanshu Shekhar dan Joseph Chinyong
Liow, para ahli dan praktisi telah menawarkan berbagai penafsiran doktrin
maritim yang digagas Presiden Jokowi, seperti (1) kebangkitan identitas negara
kepulauan Indonesia; (2) harapan baru bagi kebangkitan maritim nasional; dan
(3) sebuah panggilan untuk kebersatuan Indonesia. Kita berharap kementerian di
bidang kelautan, pertahanan, dalam negeri, luar negeri, keuangan, perencanaan
pembangunan nasional, TNI dan POLRI, dapat menghadirkan koordinasi dan
diplomasi yang semakin membuat Indonesia disegani,” jelasnya.
Kedua, secara eksternal, Tiongkok harus terus diingatkan
untuk menghormati Hukum Internasional dan kedaulatan serta eksistensi
Indonesia. Konkritnya ialah Tiongkok harus mampu menahan diri dari
kecenderungan tidak taat hukum dan kecenderungan mengganggu negara lain. Perlu
diingatkan bahwa semua negara memiliki saling ketergantungan (interdependency).
“Misalnya, saya setuju bahwa gagasan dan upaya diplomatik
Tiongkok pada forum multilateral seperti One
Belt One Road, maupun pada kerjasama kawasan seperti Regional Comprehensive Economic Partnership harus dikritisi. Dalam
hal ini, kritik diposisikan sebagai strategi mengkonfirmasi penghormatan kepada
Indonesia. Indonesia juga bertanggunggungjawab membangun kerjasama regional dan
internasional,” papar RES Fobia.
“Karena itu Indonesia juga tak boleh kalah dalam
pertarungan gagasan, desain dan kinerja bertanggungjawab dan kerjasama global.
Pancasila adalah Ideologi dengan nilai-nilai universal yang dapat menghadirkan
rangkulan strategis untuk mempengaruhi secara efektif kehidupan internasional
yang beradab dan berketeladanan. Komitmen keindonesiaan yang tegas dan kuat
berdasarkan Pancasila, tak terkecuali dalam diplomasi dan hubungan luar negeri,
akan menyumbang untuk adanya tanggungjawab bekerja, keseganan dan penghormatan
global,” kata RES.
Menurut pengamatan RES Fobia, politik luar negeri
Indonesia sedang diuji dalam seni memainkan kemungkinan-kemungkinan. “Ujian
kita adalah soal kedaulatan dan tantangan atas hak dan kebebasan mendayagunakan
potensi alam. Ini tentang dan berhubungan dengan hak untuk membangun;
kedaulatan permanen atas sumber daya alam (the
right to development; permanent
sovereignty over natural resources). Diplomasi kita harus kreatif, tak
terkecuali pada sektor kelautan. Richard Florida menggambarkan bahwa sekarang
adalah era kreatif karena faktor kunci yang mendorong kemajuan adalah
meningkatnya kreativitas sebagai penggerak utama ekonomi (the rise of creativity as the primary mover of our economy). Strategic Response ini harus bermuara
pada martabat dan kedaulatan wilayah Indonesia yang produktif untuk
kesejahteraan dan wibawa kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia,”
tegas RES Fobia. ***Vincent Suriadinata



0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !