Headlines News :
Home » » Gara-gara Covid-19, Yogyakarta Harus Kehilangan Rp 27 miliar per Hari

Gara-gara Covid-19, Yogyakarta Harus Kehilangan Rp 27 miliar per Hari

Written By Info Breaking News on Jumat, 24 Juli 2020 | 09.05


Yogyakarta, Info Breaking News – Dengan keberadaan sekitar 130 perguruan tinggi negeri dan swasta, Kota Yogyakarta pantas disebut-sebut sebagai kota pendidikan. Berdasarkan data survei Bank Indonesia Perwakilan Yogyakarta, lebih dari 357.000 mahasiswa tengah menjalankan pendidikannya di kota tersebut baik dalam tingkat diploma maupun sarjana. Dari total tersebut, 274 di antaranya merupakan mahasiswa yang berasal dari luar daerah. 

 

Namun, seiring makin merebaknya pandemi Covid-19, tidak sedikit dari antara mahasiswa luar daerah yang pulang ke kampung halamannya. Survei pengelola Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menunjukkan setidaknya 73 persen mahasiswa luar daerah telah pulang kampung. Hal ini berarti tidak ada lagi pengiriman uang dari orang tua mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan hidup mahasiswa di Yogyakarta. Akibatnya, Yogyakarta pun harus rela kehilangan potensi uang yang berputar hingga Rp 27 miliar per harinya.

 

“Sekarang di DIY itu, dari sumber mahasiswa saja, diploma dan sarjana, ada potensi uang beredar yang berkurang sampai Rp 833 miliar perbulan. Atau kalau kita bagi 30, sekitar Rp 27 miliar perhari. Bisa dibayangkan, seberapa signifikan terhadap perputaran roda ekonomi lokal,” kata Prof Fatul Wahid, Ketua Asosiasi PTS Indonesia wilayah Yogyakarta.

 

Dalam diskusi daring Persiapan Kebiasaan Baru pada Perguruan Tinggi di DIY yang digelar Rabu (22/7/2020) lalu, Wahid menyebut ada pergeseran fokus yang terjadi di tubuh perguruan tinggi akibat pandemi. 

 

Dulu pengelola perguruan tinggi hanya fokus pada dua hal, yaitu menjaga kualitas akademik dan menjaga keberlangsungan organisasi termasuk kesehatan finansial mereka. Gara-gara pandemi, dua fokus utama itu turun prioritasnya,” tutur Wahid.

 

Kini, adalah penting bagi perguruan tinggi untuk menjaga keselamatan jiwa dan keberlangsungan akademik. Bagaimanapun kuliah harus dilangsungkan, sementara kualitasnya menjadi prioritas lebih rendah. Pertanyaannya, kata Wahid, sampai sejauh mana toleransi dosen dan mahasiswa terhadap kondisi saat ini.

 

Wahid mengatakan ia tak bisa memastikan apakah mahasiswa akan tetap kuat menerima format kuliah daring. “Bisa-bisa mereka akan menuntut kualitas akademik lebih baik, yang tidak bisa dicapai melalui format ini,” kata dia.

 

Tidak bisa dipungkiri, kehadiran mahasiswa ke Yogyakarta tidak hanya kmemberi dampak positif bagi pengelola perguruan tinggi. Penerima manfaat terbesar secara ekonomi justru masyarakat. Karena itulah harus dilakukan antisipasi agar kehadiran mereka kembali tidak menimbulkan penolakan dan gejolak.

“Ketika waktu memungkinkan atau kedaruratan tinggi, kehadiran mahasiswa ke DIY itu harus dirayakan betul oleh warga dan kampus,” ungkap Wahid.

 

Sementara itu, Kepala Ombudsman Yogyakarta, Suryawan Raharjo mengingatkan pandemi berdampak besar terhadap sektor sosial dan ekonomi. Banyak perubahan harus dilakukan yang sifatnya fundamental. Ombudsman merekomendasikan dua langkah besar untuk menjaga sektor pendidikan agar tetap hidup sebagai kompor ekonomi di Yogyakarta.

 

Langkah yang pertama adalah konsolidasi publik secara luas untuk meyakinkan bahwa dampak pandemi terhadap kehidupan sosial dan ekonomi harus diatasi bersama. Langkah selanjutnya ialah regulasi sosial baru dimana interaksi sosial, termasuk mahasiswa di tengah masyarakat harus dikelola dengan aturan baru.

Ombudsman juga mempertanyakan konsep hubungan antara pemerintah daerah dan perguruan tinggi di masa pandemi yang lebih berkelanjutan. Menyangkut ancaman penularan, wacana mengenai peta pondokan atau hunian mahasiswa luar daerah berbasis kecamatan atau desa juga penting. Bahkan sebaiknya diperlukan organisasi perangkat daerah yang secara khusus bertugas mengawasi skema ini.

Suruawan juga menyoroti pentingnya kesiapan perguruan tinggi sendiri dalam paradigma, regulasi, sarana dan manajemen krisis untuk menghadapi pandemi ini.

Di kesempatan lain, Sekretaris Daerah Yogyakarta, Kadarmanta Baskara Aji meminta ada mekanisme yang mengatur kehadiran mahasiswa ke Yogyakarta. Perguruan tinggi harus berkoordinasi untuk turut menekan potensi penularan virus corona. Jika sudah tiba waktunya dan kuliah tatap muka dimungkinkan, kampus harus dibuka bertahap. 

“Dalam rangka untuk membatasi supaya tidak waktu yang bersamaan, sekian banyak orang datang ke Yogya yang kemudian pengawasan dan pemantauannya sulit dilakukan oleh pemerintah daerah,” ujar Baskara.

Pemerintah memiliki dilema terkait kehadiran mahasiswa dari luar daerah. Mekanisme persyaratan rapid tes yang mahal pun ternyata tidak efektif menahan laju penularan. Jika lebih dari 300 ribu mahasiswa datang bersamaan, lanjutnya, bisa dipastikan pemerintah daerah akan kesulitan melakukan kontrol potensi transmisi lokal. ***Rohmanyudi Ardianto

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved