![]() |
Zainal Bintang, Penulis wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya bersama Wapemred Info Breaking News, Soegiharto Santoso alias Hoky |
Oleh Zainal Bintang
Jakarta, Info
Breaking News - MERUJUK pemberitaan surat kabar Inggris The
Guardian terbitan 14 April 2020 yang banyak dikutip menyebutkan, “Para ilmuwan
baru berhasil membuat vaksin dan mengatasi wabah Covid 19 selama
delapan belas bulan dari sekarang. Itulah mengapa keharusan social distancing
(pembatasan sosial) akan tetap berlanjut sampai 2022”.
Meskipun nantinya waktu karantina bisa
diakhiri, namun sampai vaksin atau obat virus corona Covid-19 bisa ditemukan,
maka pola pencegahan seperti yang dilakukan saat ini harus terus dilakukan.
Pandemi akan berlangsung lama, harus mulai
membiasakan dengan new normal life, pola hidup normal yang baru, kata
Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman.
Di tengah pertempuran dunia melawan pandemi
Covid 19 – termasuk Indonesia–masyarakat dipaksa menjalani “kenormalan baru”.
Pengakuan atas rontoknya kesepakatan sosial
lama akibat physical distanscing (penjarakan badan) sebagai implementasi
Peraturan Pemerintah No. 21/2020 tentang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala
Besar).
Pertanyaan mendasar, sesudah pandemi Covid 19
berlalu, bagaimana bentuk kehidupan selanjutnya di atas dunia ini? Prahara
wabah Covid 19 kadung telah menebar kerusakan tatanan kehidupan secara masif.
Melumpuhhkan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, keagamaan dan politik. Semuanya
mengalami disrupsi total. Membuat dunia termasuk Indonesia luluh lantak.
Paska wabah Covid 19 diperkirakan untuk
sementara di Indonesia akan hadir wajah kelam kehidupan. Semuanya harus dimulai
dari nol. Membangun kesepakatan sosial baru.
Seperti apa kelak tampang rekonstruksi
ekonomi, sosial, budaya, keagamaan dan politik dalam kehidupan “kenormalan
baru” di Indonesia masa datang? Seperti apakah tampang perpolitikan kita?
Masihkah kelak partai politik diperlukan?
Masihkah perlu elite politik dihormati?
Masyarakat yang sempat kehilangan simpati
kepada elite politik tidak mudah melupakan kekecewaan. Mereka menganggap wakil
rakyat di Senayan gagal menunjukkan empati yang tinggi di masa cengkeraman
wabah Covid 19 merajalela.
Luapan kekecewaan berat masyarakat atas sikap
cuek wakilnya bertaburan di media cetak, eletronik dan media daring. Di bawah
tekanan kecaman dan di tengah masifnya penetrasi wabah Covid 19, wakil rakyat
di Senayan tetap saja kekeuh mengesahkan undang – undang lewat sidang pleno
virtual yang dianggap minim aspek legalitasnya.
Membayangkan sisi kelam paska wabah Covid 19
di Indonesia, seperti apa tampang rekonstuksi dunia ekonomi kita?
Masihkah dapat bertahan kerajaan
para kapitalis alias konglomerat? Mereka yang tergabung dalam
kelompok orang terkaya yang 1 persennya menguasai 46,6 persen total kekayaan
penduduk dewasa dan yang 10 persennya mengangkangi 75,3 persen total kekayaan
penduduk. Seperti apa perilaku mereka ketika menemukan timbunan kekayaannya
menjadi gunung beban yang tidak lagi menghasilkan?
Rontoknya dunia ekonomi berskala kolosal
akibat wabah Covid 19, diperkirakan akan membuat banyak konglomerat menderita
strees berat. Dicengkeram hantu kemiskinan yang menakutkan. Sejumlah aset
premium mereka terpapar virus ekonomi dipastikan berubah jadi beban hutang tak
bertepi.
Ratusan gedung pencakar langit, puluhan ribu
kertas berharga, jutaan hektar lahan (pertambangan dan perkebunaan) bernilai
ribuan triliun milik kapitalis itu mendadak tidak bernilai jual. Menguap
terdistorsi kemandekan bisnis sedunia.
Sementara itu, rakyat kecil , – ahli waris
yang sah atas tanah negara yang pernah dirampas – bermunculan merebut kembali
lahan -lahan yang dicaplok para kapitalis sadis itu. Lahan yang berpindah
tangan lewat kolusi memo oknum bupati berkelindan upeti lewat pintu belakang
porsi dana kampanye pilkada yang penuh akal bulus.
Gurita bisnis kapitalis itu berantakan.
Jaringan rantai dagang terputus. Selain kehilangan kekayaan begitu banyak,
terancam pula kehilangan kewarasan. Linglung. Lalu jadi gila.
Ketidaksiapan mental untuk menjadi orang
miskin membuat sang konglomerat itu tiba – tiba menjadi dungu. Berperilaku
seperti orang “berkebutuhan khusus” ditinggal pergi kekayaan yang
menguap begitu saja.
Banyak yang berdoa semoga kehadiran
“kenormalan baru” dapat menjadi sebuah blessing indisguise (anugerah
terselubung). Bermutasi menjadi energi positif bangsa guna menyapu bersih
tatanan lama dari genggaman oligarkis: persepakatan jahat elite politik dan
konglomerat kapitalis yang rapuh moralitas.
Membayangkan setelah corona, akan datang
sebuah masa dimana impian kebenaran dan keadilan menjadi kenyataan. Bangsa
besar ini akan dapat mengelola sendiri negerinya.
Mengembalikan nilai luhur yang rusak akibat
praktik demokrasi setengah matang. Menjadi gorengan politisi gadungan yang
berselancar diatas hasil elektoral manipulatif.
Membayangkan setelah corona, akan datang
sebuah masa pembebasan dimana rakyat bersatu melawan petualang konstitusi
berjubah “rasul” reformasi, yang telah membonsai UUD 45 melalui sihir hitam
amandemen empat kali.
Membayangkan….!!
“Semuanya kelihatan tidak mungkin sampai
segala sesuatu selesai”. kata Nelson Mandela. ***Hoky
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !