![]() |
Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho |
Jakarta, Info Breaking News - Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya (Ombudsman Jakarta Raya) bisa
memahami keinginan Pemprov DKI Jakarta untuk membuat aturan yang lebih teknis
terkait sanksi bagi para pelanggar PSBB.
“Ombudsman menyadari kompleksitas
aturan sanksi dalam Pergub No. 33 tahun 2020 yang rujukan sanksinya masih
mengacu ke UU Karantina Kesehatan dan UU Wabah Penyakit Menular,” ujar Kepala
Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho, Selasa (12/5/2020).
Hal tersebut memicu kebimbangan di kalangan
aparat penegak hukum karena jika sanksinya langsung merujuk pada kedua
undang-undang tersebut, maka implikasi pelanggaran PSBB adalah sanksi pidana.
”Pilihan persuasif oleh aparat penegak hukum pada PSBB tahap I sudah merupakan
pilihan paling logis karena tidak mungkin mempidanakan sekian banyak orang
dengan sanksi pidana 1 tahun atau denda yang mencapai 100 juta rupiah hanya
karena tidak memakai masker atau tidak mengetahui ketentuan Social Distancing,”
tambah Teguh.
Pergub No. 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan
Sanksi Terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Provinsi DKI Jakarta
ditetapkan tanggal 30 April 2020. “Secara substansi, Pergub ini sudah sangat
komprehensif karena memuat sanksi bukan saja bagi pelaku individual tapi juga
perusahaan yang tidak mengindahkan ketentuan PSBB. Hal ini penting karena
potensi penyebaran Covid-19 terbesar salah satunya dari diberikanya IOMKI oleh
Kemenperin ke perusahaan-perusahaan yang tidak dikecualikan untuk tetap
beroperasi,” papar Teguh. “Peristiwa penyebaran Covid-19 di perusahaan bukan
hanya terjadi di Chandra Asri Banten saja, tapi kami juga mendapatkan informasi
penularan Covid di Kawasan MM Cikarang dan juga pabrik di Bandung yang sudah
mendapat izin operasi dari Kemenperin,” lanjut Teguh.
Hanya saja, Ombudsman Jakarta Raya meminta
Pemprov DKI menyelaraskan ketentuan sanksi dalam Pergub tersebut dengan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, peraturan yang memuat sanksi hanya Undang-Undang atau Perpu
dan Perda. “Sanksi merupakan pengurangan hak seseorang atau warga negara dan
karena merupakan pengurangan hak, produknya harus dihasilkan oleh pemerintah
dan perwakilan masyarakat, dalam hal ini DPRD,” ujar Teguh lagi.
Ada 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang
dapat dijadikan acuan tentang jenis sanksi yang dapat dimuat dalam Perda,
yaitu; Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UUPPP) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UUPD). Pasal 15 UUPPP menyebutkan: "Materi muatan
mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-undang dan Peraturan
Daerah." Sementara Pasal 238 UUPD menyebutkan:
(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang
pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian
kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah);
(3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan
atau denda selain dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPPP,
disebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sesuai
dengan pasal ini, maka status Perda tidak menjadi lebih rendah dari Peraturan
yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk Keppres, Permen, dan Kepmen, karena
aturan tersebut tidak masuk dalam hierarkis.
“Jadi, hanya Perda yang boleh mencantumkan
sanksi di tingkat daerah, dan dengan Perda itu pula, Pemprov DKI tetap bisa
memberikan sanksi kepada perusahaan yang mendapat izin dari Kemenperin karena
Perda merupakan peraturan perundang-undangan sementara Keputusan Menteri
bukan,” tutur Teguh lagi.
Untuk itu, Ombudsman Jakarta Raya meminta
Pemprov DKI segera melakukan koordinasi dengan DPRD agar menjadikan Pergub
Nomor 41 tahun 2020 tersebut dijadikan Peraturan Daerah. Dengan semangat
kebaikan bersama, Ombudsman Jakarta Raya percaya, DPRD akan cepat memproses
Pergub tersebut sebagai Draft Perda dan dapat memberikan persetujuan cepat.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 242 UUPD,
Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah
disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama untuk ditetapkan
sebagai Perda. Selanjutnya, Gubernur wajib menyampaikan rancangan Perda kepada
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak
menerimanya dari pimpinan DPRD.
Kemudian, Mendagri memberikan nomor register
paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterima. Rancangan Perda yang telah mendapat
nomor register ditetapkan oleh Gubernur dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak rancangan itu disetujui bersama. Apabila dalam jangka waktu
tersebut tidak ditetapkan, maka rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda.
“Jika DPRD sudah menyetujui, tidak dalam waktu
satu minggu perubahan Pergub menjadi Perda tersebut bisa dilaksanakan, dan saya
yakin dalam perbedaan politik apapun, seluruh anggota DPRD juga akan bersepakat
mendukung upaya penanganan Covid di Jakarta termasuk penyusunan dan penetapan
Perda Sanksi selama PSBB. Jika ada warga yang men-challenge Perda tersebut,
dipastikan akan sulit untuk dikalahkan tapi jika dasarnya Pergub, Ombudsman
khawatir, warga yang cukup faham hukum tidak akan taat karena dasar hukum
produknya terlalu lemah,” tutup Teguh.
***Hoky
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !