Headlines News :
Home » » OC Kaligis Komentari Tindakan Diskriminatif Terkait Hak Remisi

OC Kaligis Komentari Tindakan Diskriminatif Terkait Hak Remisi

Written By Info Breaking News on Kamis, 14 Oktober 2021 | 15.52


JAKARTA, INFO BREAKING NEWS - Terpidana korupsi OC Kaligis yang kini menjadi warga binaan di Lapas Sukamiskin, Bandung menulis surat terbuka terkait silang pendapat atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 41/PUU-XIX/2021.

“Pertama saya hendak meluruskan bahwa korupsi bukan kejahatan luar biasa yang diplesetkan LSM sebagai Extraordinary Crime yang identik dengan kejahatan kemanusiaan. Istilah korupsi yang dipakai adalah Transnational Organized Crime, bukan kejahatan pembantaian umat manusia,” ungkap OC Kaligis dalam pembukaan suratnya.


OC Kaligis mengaku ia melayangkan gugatan usai menerima surat dari KPK yang isinya menyatakan seumur hidup dirinya tidak akan memperoleh remisi. “Padahal bukti yang saya peroleh dari berkas di register Kalapas, KPK secara tebang pilih memberikan predikat Justice Collabolator (JC),” tuturnya.


Ia menilai hal ini disebabkan karena otoritas yang tidak berlandaskan hukum yang dalam praktik diberikan kepada KPK. Akibatnya terjadi pemberian JC yang tebang pilih.


Berikut sejumlah poin yang ditekankan oleh OC Kaligis sebagai sosok yang melakukan perjuangan hukum ke Mahkamah Konstitusi demi nasib sesama para warga binaan, korban perlakuan diskriminasi:


1. Kewenangan untuk memberikan remisi menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugasnya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain, apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan semangat pembinaan warga binaan (sumber: kutipan pertimbangan hukum para hakim Konstitusi dihalaman 48 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara nomor 41/PUU-XIX/2021).


2. Mengenai kapan wewenang KPK sebagai penyidik dan penuntut berakhir.  Pertimbangan putusan hakim MK dapat dibaca di halaman yang sama yang kutipannya adalah sebagai berikut: “Oleh karenanya sampai pada titik tersebut segala kewenangan mulai dari penyidikan, penuntutan sampai dengan persidangan pengadilan telah berakhir, dan selanjutnya menjadi ruang lingkup sistem pemasyarakatan, sehingga hal tersebut kehilangan relevansinya apabila dikaitkan dengan syarat pemberian remisi bagi  nara pidana.” 


Dari pertimbangan ini, hak para warga binaan untuk mendapatkan remisi terhitung sejak putusan dinyatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat (putusan in kracht).


3. Mengenai kompetensi KPK sebagai penyidik dan penuntut umum yang berrakhir setelah putusan in kracht, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi nomor 41 identik dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 33 tahun 2016 yang pertimbangannya adalah sebagai berikut : “Namun proses yang panjang telah dilalui dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan putusan di peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi, dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi jaksa/penuntut umum menggunakan kesempatan  yang dimilikinya  untuk membuktikan kesalahan terdakwa.” 


Pertimbangan di halaman 7 Putusan MK nomor 33/2016 konsisten dengan putusan nomor 41 di atas, mengenai batas kekuasaan penyidik dan penuntut umum yang berakhir setelah putusan kasasi Mahkamah Agung atau putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.


4. Bukti dari Laporan Panitia Angket DPR RI, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diatur dalam UU nomor 34 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Jakarta, Februari 2018. Kutipan dari halaman 42 dan 43 di bawah judul 'Peraturan Perundangan'. 


"Terbitnya PP 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai JC. JC ditentukan pada posisi penyidikan dan penuntutan, kemudian ada PP 99 tahun 2012 yang menyatakan bahwa JC berlaku sampai di lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya merupakan kewenangan Undang-undang untuk mengatur. Seluruh warga binaan kompetensinya berada di bawah lembaga pemasyarakatan bukan KPK."


"PP nomor 99 tahun 2012 bertentangan dengan sistim perundang-undangan maupun penerapan criminal justice system. PP 99/2012 bertentangan dengan pasal 8 ayat 1 Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang Undang-undang Pemasyarakatan. Terjadi diskriminasi yang tidak memiliki landasan hukum dimana warga binaan tindak pidana korupsi mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan warga binaan pada umumnya dalam memperoleh hak-haknya yaitu hak remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan lain sebagainya. Kepada warga binaan korupsi dipersyaratkan harus memiliki predikat JC yang tidak memiliki landasan hukum."


Diskriminasi perlakuan persamaan hukum (equality before the law) bertentangan, baik menurut Konstitusi RI maupun bertentangan dengan konvensi-konvensi PBB seperti The Nelson Mandela Rule mengenai The United Nations Standard Minimum Rules for Treatment  of Prisoners, Paris Convention tahun 1948, serta Internasional Convention on Civil and Political Rights yang juga kita ratifikasi melalui Undang-undang nomor 12 tahun 2005.


5. Remisi adalah hak universal diputuskan melalui Putusan Mahkamah Agung nomor 2368 K/Pid. Sus/2015 tertanggal 14 Desember 2015 yang diputus oleh Hakim Agung almarhum Artidjo Alkostar dalam perkara terdakwa Muhtar Ependy.


6. Dari uraian di atas baik yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi maupun oleh pertimbangan dan pendapat hukum DPR RI, dengan putusan untuk waktu yang berbeda (MK nomor 33 ditahun 2016, DPR RI ditahun 2018 dan MK ditahun 2021), semua sependapat bahwa pemberian remisi adalah bukan otoritas KPK. Bahkan JC sama sekali tidak punya landasan hukum. Berdasarkan Integrated Criminal Justice System, wewenang KPK jelas hanya pada tingkat penyidikan dan penuntutan, bukan pada tingkat putusan hakim apalagi merampas hak Lembaga Pemasyarakatan dalam urusan pembinaan. Lembaga Pemasyarakatan berada dibawah wewenang Menteri Hukum dan HAM cq. Dirjen Lapas.


7. Hak para warga binaan sesuai dengan Pasal 14 UU Pemasyarakatan berlaku pada saat putusan in kracht. Ketentuan ini mengacu pada dua putusan MK nomor 33/2016 dan nomor 41/2021, sehingga sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang putusannya adalah Erga Omnes, otoritas pembinaan Kabid Pembinaan di Lapas Sukamiskin di mulai sejak saat putusan in kracht. Disaat itu berdasarkan azas pengayoman, pembinaan para warga binaan berada sepenuhya di Lapas.


8. Pembinaan  harus demi UU dilakukan di luar campur tangan KPK. Adanya campur tangan yang selama ini dilakukan oleh KPK menyebabkan terjadinya diskriminasi pemberian hak-hak warga binaan sebagaimana diatur di Pasal 14 UU Nomor 12 tahun 1995.


Sebagai penutup, OC Kaligis mengumumkan dirinya akan kembali menerbitkan buku berjudul “Pemberian Remisi Tanpa Diskriminasi”. Ia mengklaim buku ini ditulis untuk kepentingan para peminat hukum dan sebagai pencerahan ilmiah di bidang hukum. 


“Salam hormat dari saya yang terpasung oleh KPK dalam hal pemberian remisi. Inilah suara saya dari Sukamiskin.” ***Jeremy Foster


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved