Headlines News :
Home » » Rentan Korupsi, Politik Dinasti Harus Dicegah

Rentan Korupsi, Politik Dinasti Harus Dicegah

Written By Info Breaking News on Senin, 18 Oktober 2021 | 20.18

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman

JAKARTA, INFO BREAKING NEWS - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai politik dinasti rentan praktik korupsi karena menutupi borok dan melanggengkan korupsi sebelumnya. Untuk itu, politik dinasti harus dicegah.

"Dinasti politik kenapa kemudian berpotensi atau setidaknya bahasa saya potensi korupsinya besar, itu ya karena memang dalam rangka menutupi borok dan melanggengkan korupsi yang sebelumnya," tutur Boyamin.


Boyamin lalu membeberkan sejumlah catatan terkait politik dinasti berpotensi menjadi korupsi yang masif. Pertama, katanya, politik berbiaya tinggi. Tanpa politik dinasti, kepala daerah sudah berpotensi melakukan korupsi untuk mengembalikan modal saat mencalonkan diri.


Kedua, apapun ketika menjadi kepala daerah ini merasa menjadi manusia yang berbeda statusnya. Sehingga dia harus menjadi orang yang juga kaya raya karena merasa dirinya orang hebat, mampu dipilih, dan kemudian menjadi seperti berwibawa, maka dia juga harus tidak boleh miskin atau tidak boleh biasa-biasa saja. Maka dia harus kaya raya. 


“Kaya rayanya dari mana? Dari cara korupsi," ungkapnya.


Biaya politik yang tinggi memaksa kepala daerah untuk melakukan korupsi agar kembali modal.


"Kemudian untuk menjadi lebih hebat lagi, harus parlente dan sebagainya dengan cara korupsi. Karena apa, dari proses biaya politik yang tinggi tadi seakan-akan perjuangannya berat, dan merasa manusia yang berbeda stutusnya sehingga ya, otomatis menjadi ingin kaya," katanya.


Selanjutnya, poin yang ketiga, karena sikap tamak. Sebab, terdapat sejumlah penyelenggara yang tetap melakukan korupsi, meski merupakan orang kaya.


"Sudah cukup tetap korupsi. Artinya dari sikap tamak itu menjadikan seorang kepala daerah korupsi," katanya.


Hal ini diperparah ketika kemudian terjadi politik dinasti. Karena apa? Dinasti itu untuk menutupi korupsi yang dilakukan kepala daerah sebelumnya dan diteruskan istri atau anaknya dalam rangka untuk menutupi korupsi-korupsi sebelumnya.


"Dengan apa cara-caranya, ya ketika istri atau anaknya atau siapa pun keluarganya menjadi pejabat berikutnya berusaha menutupi borok-borok yang lalu, berusaha misalnya ada proyek-proyek yang dikorupsi, kemudian ditambahi proyek baru, sehingga tertutup korupsinya. Misalnya proyek jalan rusak karena dikorupsi, maka oleh penerusnya cepat-cepat diadakan proyek baru untuk menutupi kerusakan itu. Ini dari kacamata fisik," paparnya.


Menurut Boyamin, borok korupsi lain yang ditutupi semisal jual beli jabatan, kemudian jual beli izin tambang yang harus dilanjutkan generasi berikutnya.


Meski demikian, ia mengakui bahwa tidak semua politik dinasti adalah korupsi. "Tapi apakah dinasti itu semua korupsi ya memang tidak, satu dua lah. Tapi sebagian besar menjadi korupsi dari dinasti," tegasnya.


Boyamin melanjutkan, politik dinasti seakan-akan hanya mereka saja yang mampu menjalankan roda pemerintahan.


"Itu kan sikap yang sombong, dan itu seakan-akan tidak ada orang lain yang bisa memimpin daerah tersebut. Inilah yang kemudian seakan-akan pengalaman-pengalaman itu, menjadikan dinasti itu semakin memonopoli pemerintahan, memonopili sumber daya dan memonopoli juga dari sisi dugaan-dugaan korupsi," katanya.


Ia menegaskan politik dinasti harus dilarang dan dicegah. Setidaknya, kata Boyamin, harus ada jeda waktu sebelum sanak keluarga mencalonkan diri kembali.


"Semestinya dinasti untuk ke depan dilarang, dicegah dan itu misalnya diberi jarak. Boleh dinasti maju lagi menjadi kepala daerah tapi dibatasi minimal 10 tahun. Kalau memang hebat kan tetap bisa saja maju lagi anak dan istrinya," kata dia.


Diketahui, politik dinasti kembali mencuat usai KPK menangkap dan menetapkan Bupati Musi Banyuasin (Muba), Dodi Reza Alex Noerdin sebagai tersangka suap terkait sejumlah proyek di Muba. 


Selain Dodi, pihak lain yang terlibat antara lain Kadis PUPR, Herman Mayori; Kabid SDA atau PPK Dinas PUPR Muba, Eddi Umari; dan Direktur PT Selaras Simpati Nusantara, Suhandy.


Dodi diduga memerintahkan anak buahnya untuk merekayasa lelang proyek. Atas rekayasa lelang tersebut, Dodi Reza Alex Noerdin diduga menerima suap sekitar Rp 2,6 miliar dari Suhandy yang mendapat empat proyek pekerjaan di Dinas PUPR Muba. Sebagian suap itu telah diserahkan Suhandy kepada Dodi Reza melalui Herman Mayori dan Eddi Umari.


Dodi merupakan anak dari mantan Gubernur Sumatera Selatan yang juga mantan Bupati Muba, Alex Noerdin. Saat ini, Alex Noerdin ditahan Kejaksaan Agung di Rutan Salemba atas dua kasus korupsi. Kedua kasus korupsi yang menjerat Alex, yakni dugaan korupsi dana hibah dari dana APBD Provinsi Sumatera Selatan tahun 2015 dan tahun 2017 kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang terkait pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang serta kasus dugaan korupsi dugaan korupsi pembelian gas bumi oleh BUMD Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan tahun 2010-2019.


Sebelum Dodi Reza dan Alex Noerdin, terdapat sejumlah politik dinasti yang terjerembab korupsi. Sebut saja politik dinasti di Probolinggo, Cimahi, Kutai Kertanegara, Kutai Timur, Banten, Kendari, dan sejumlah daerah lainnya. ***Syafril

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved