Silvia Tan |
Jakarta, Info Breaking News - Belum lama ini aturan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) terkait pernikahan dan perceraian pegawai negeri sipil (PNS) hangat dibicarakan.
Publik menyoroti adanya ketidakadilan dalam aturan yang dibuat. Pasalnya, dalam aturan tersebut PNS pria diperbolehkan poligami, sedangkan PNS perempuan tak boleh jadi istri kedua, ketiga, dan seterusnya.
Entah apa yang ada di benak para pemangku jabatan di saat menyusun aturan kontroversial tersebut.
Di zaman sekarang ini, regulasi yang konon sudah diterbitkan sejak 40 tahun lalu tersebut pun dinilai “merusak” emansipasi wanita dan paham kesetaraan gender.
Lantas, bagaimana awal dari terbitnya aturan tersebut?
Kepala Pusat Media, dan Kebudayaan Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menyebut peraturan tersebut diumumkan pada masa Orde Baru dengan kondisi politik yang berbeda. Saat itu, istri presiden kedua Indonesia, Siti Hartinah, menentang keras poligami sehingga dibuat lah peraturan agar PNS laki-laki tidak mudah berpoligami.
Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1983 yang telah direvisi menjadi PP No. 45 Tahun 1990. Peraturan ini menjadi acuan bagi pejabat yang melakukan poligami. PP No. 10 Tahun 1983 antara lain mengatur syarat penggantian dan kumulatif bagi PNS laki-laki yang berpoligami. Selain itu, diatur pula pejabat yang memiliki kewenangan perizinan, yakni yang bertanggung jawab untuk mengawasi personel di masing-masing instansi. Sesuai dengan Pasal 2(1) Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Cerai Bagi Pejabat Negara.
Pakar hukum Yuyud Yuchi Susanta menjelaskan PNS perempuan tidak diperbolehkan menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat.
“Syaratnya, khususnya adanya persetujuan tertulis dari istri yang sah dari pejabat publik yang bersangkutan yang dibuktikan dengan surat keterangan bermaterai, bahwa pegawai negeri laki-laki yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup dan secara tertulis jaminan dari pegawai negeri laki-laki yang bersangkutan bahwa ia memperlakukan istri dan anak-anaknya, anaknya dengan adil,” jelasnya.
Sedangkan pejabat laki-laki yang ingin beristri lebih dari satu harus mendapat izin dari pejabat dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Pertama, kondisi surrogacy, antara lain istri tidak mampu menjalankan kewajibannya, istri cacat fisik atau penyakit terminal lainnya yang dibuktikan dengan rekam medis, dan/atau ketidakmampuan melahirkan anak setelah menikah selama setidaknya sepuluh tahun sebagaimana disertifikasi oleh sertifikat medis.
Singkatnya, pejabat yang ingin melanjutkan cerai harus mendapat izin atau surat keterangan dari pejabat terlebih dahulu. Hal ini berlaku bagi mereka yang berstatus penggugat maupun tergugat.
Lalu, entah mengapa tiba-tiba BKN menyosialisasikan kembali aturan tentang izin nikah dan cerai PNS yang disahkan pada 1983. PNS pria bisa berpoligami dengan syarat tertentu, sementara PNS wanita dilarang jadi istri kedua, ketiga atau keempat. PNS wanita yang kedapatan melanggar terancam sanksi pemutusan kerja.
Surat nikah dan cerai bagi pegawai negeri diatur, dengan tujuan utama agar setiap pejabat pemerintah dapat memenuhi tanggung jawabnya sebagai pegawai negeri. Mereka juga tidak mempermasalahkan masalah keluarga.
Meski awalnya dibuat untuk menjaga efisiensi kerja PNS, namun akhirnya negara justru mengintervensi kehidupan pribadi pekerjanya. Bahkan menurut pakar kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran, Mudiyati Rahmatunnisa, kini aturan tersebut mulai menyusup ke sektor swasta.
Jika dilihat dari kacamata kesetaraan gender, aturan pemerintah nomor 45 tahun 1990 menjadi polemik tersendiri. Publik pun mempertanyakan komitmen pemerintah untuk memperbaiki ataupun meningkatkan hak-hak perempuan.
Perlu diakui, pada praktiknya bahwa perbedaan gender ini banyak digunakan sebagai dalih untuk menegakkan hegemoni terstruktur atas perempuan, yang berdampak pada sejumlah isu yang lagi-lagi merugikan kaum wanita.
Pasal 45 Tahun 1990 tentang Surat Nikah dan Cerai bagi Pegawai Negeri Sipil, khususnya Pasal 4(2) sangat mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap kaum pria.
Sangat disayangkan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 i menyebutkan bahwa: Setiap orang berhak bebas dari perilaku diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Dengan tulisan ini, diharapkan makin banyak wanita Indonesia yang aktif menyuarakan hak kesetaraan wanita di mata hukum, yang akan mendorong pemerintah mempertegas kebijakan poligami akan diperketat atau tak dibolehkan sama sekali. *** Silivia Tan
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !