Jakarta, Info Breaking News - Hari Senin, 25 Maret 2024 sekitar jam 21.00 malam, para penasehat hukum Prabowo-Gibran resmi mengajukan sekaligus mendaftar di Mahkamah Konstitusi sebagai Pihak Terkait langsung.
Permohonan dimajukan setelah paslon nomor 1 dan 3 menggugat KPU di Mahkamah Konstitusi.
Gugatan mereka penuh dengan berbagai narasi yang bukan saja mengejek, tetapi juga memfitnah, menista, bahkan melibatkan Presiden Jokowi selaku Presiden yang terlibat langsung atas kemenangan paslon nomor 2 Prabowo-Gibran.
Salah satu petitum mereka adalah mendiskualifikasi eksistensi pasangan nomor 2, sehingga untuk Pilpres ulangan hanya dihadiri pasangan nomor 1 dan 3.
Yang menarik untuk diulas dari bukti-bukti narasi itu, ada sejumlah bukti yang pernah diuji baik di Peradilan Pidana, maupun di peradilan TUN atau di MK.
Misalnya, di saat pasangan nomor 1 tidak mengakui IKN sebagai Ibu kota NKRI, sekalipun fakta itu adalah keputusan pemerintah dan DPR RI. Seharusnya pasangan nomor 1 mengajukan undang-undang penetapan IKN ke MK, bukan melalui statement di saat kampanye.
Bahkan di saat ini, para pemimpin negara di dunia telah memberi ucapan selamat kepada Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Di Indonesia sendiri pun banyak partai yang ikut memberi selamat berhasil kepada pasangan nomor 2.
Pertemuan para penasehat hukum Prabowo-Gibran dimulai dengan rapat penandatanganan kuasa tanggal 24 Maret 2024, di bawah pimpinan Prof. Yusril Ihza Mahendra.
Rapat tersebut dilaksanakan pukul 16.00 WIB di hotel Pullman, Jalan Thamrin Jakarta. Dalam acara itu, 45 pengacara resmi menandatangani surat kuasa
Berikut catatan persiapan menghadapi gugatan pasangan calon nomor 1 dan 3 di Mahkamah Konstitusi:
1. Hari Minggu, 24 Maret 2024, 45 pengacara Prabowo-Gibran resmi tandatangani surat kuasa.
2. Saya sebagai salah seorang advokat Tim Pengacara, kembali membuka beberapa buku saya berjudul Partai Golkar Digugat (1999), Mahkamah Agung versus Komisi Yudisial di Mahkamah Konstitusi (2006), Remisi Tanpa Diskriminasi (2020).
3. Tiga judul buku itu memuat pengalaman saya yang terlibat baik dalam perkara politik, maupun mewakili Mahkamah Agung di MK. Untuk buku berjudul Remisi Tanpa Diskriminasi, saya berhasil menghapuskan dan dinyatakan tidak belaku lagi PP.99/2012, sehingga remisi tanpa kecuali diberikan kepada semua warga binaan, termasuk terdakwa vonis korupsi.
4. Melalui tulisan ini yang hendak saya bahas adalah permohonan pasangan nomor 1 & 3 ke Mahkamah Konstitusi. Status saya sebagai salah seorang Pihak Terkait.
5. Dari pernyataan pers mereka di media, saya berkesimpulan bahwa bukti-bukti yang mereka majukan adalah bukti narasi.
6. Tak satu vonis hakim pun dengan dictum pasangan nomor 2 telah melakukan kecurangan.
7. Mereka hanya mencap pasangan nomor 2 melakukan pemilihan curang tanpa bukti vonis hakim, dan itu dilakukan sebagai dasar fitnah mereka terhadap pasangan nomor 2.
8. Semua rilis mereka untuk media, semata-mata hanya untuk menggiring opini publik bahwa memang untuk menang, pasangan nomor 2 telah melakukan kecurangan masif, terstruktur, dan sistimatis.
9. Yang pasti gugatan mereka ke MK hanya untuk memeriahkan Peradilan Jalanan.
Mengenai saksi de auditu
Mengenai Pembuktian. Saksi “dengar” (de auditu) bukan bukti. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 803 K/1970, semua saksi harus didengarkan di Pengadilan, bukan melalui Peradilan Jalanan.
Saksi fakta: Pasal 184 jo 185 (1) KUHAP. Terdiri dari saksi a charge, a de charge, saksi korban, bukti tertulis, ahli dan bukti-bukti itu mesti terungkap di persidangan Pidana, sesuai Pasal 185(1) KUHAP (lihat pasal 185 KUHAP).
Selanjutnya pelanggaran tindak pidana menurut Undang-undang Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 488 sampai dengan Pasal 554 (Undang-undang nomor 7/2017)
A. Manipulasi syarat administrasi pencalonan
B. Politik uang (pasal 515 UU Pemilu)
C. Politisasi birokrasi
D. Kelalaian petugas penyelenggara Pemilu
E. Manipulasi suara
F. Ancaman/Intimidasi
G. Netralitas penyelenggara Pemilu
Pelanggaran Pasal 488-554 UU Pemilu
- Politik Uang: melanggar pasal 515 UU Pemilu. Pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah.
- Pelanggaran oleh pejabat: pelanggaran pasal 547 UU Pemilu. ”Setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah“.
- Memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih: melanggar pasal 488 UU Pemilu — hubungannya dengan pasal 203, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun, denda maksimal Rp 12 Juta.
- Kepala desa menguntungkan atau merugikan peserta pemilu: melanggar Pasal 490 UU Pemilu). Pidana penjara maksimal 1 tahun dan denda maksimal 12 juta rupiah.
- Mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu kampanye pemilu: melanggar Pasal 491 UU Pemilu). Pidana maksimal 1 tahun dan denda maksimal 12 juta rupiah.
- Kampanye di luar jadwal yang ditetapkan oleh KPU: melanggar Pasal 492 UU Pemilu jo. Pasal 276 ayat (2) dengan pidana kurungan maksimal 1 tahun dan denda maksimal 21 juta rupiah.
- Kampanye pemilu sebagaimana dimaksud berupa iklan media massa cetak, media massa elektronik, internet, dan rapat umum. Kampanye tersebut dilaksanakan selama 21 hari dan berakhir sampai dimulainya masa tenang.
Sepuluh bentuk pelanggaran Kampanye (pasal 280 ayat 1 UU Pemilu):
1. Mempersoalkan Dasar Negara Pancasila, Pembukaan UUD 1945, dan bentuk NKRI,
2. Melakukan kegiatan yang membahayaka keutuhan NKRI,
3. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain,
4. Menghasut dan mengadu domba perorangan atau masyarakat,
5. Mengganggu ketertiban umum,
6. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta pemilu lain,
7. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu,
8. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan,
9. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; dan
10. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.
Dari beberapa putusan MK, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa istilah sistimatis, terstruktur dan masif adalah sebagai berikut:
- Pelanggaran bersifat sistimatis, artinya pelanggaran itu benar-benar direncanakan secara matang (by design).
- Pelanggaran bersifat terstruktur, artinya pelanggaran itu dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pemilkada secara kolektif, bukan aksi individual.
- Pelanggaran bersifat masif, artinya dampak pelanggaran ini sangat luas dan bukan sporadis.
Mengenai kecurangan: pelajari Pasal 460 Undang-undang nomor 7/2017, khususnya kecurangan TSM yang tercantum dalam UU Bawaslu nomor 8/2022 Pasal 56 dst.
Yang bisa di-angket adalah eksekutif. KPU adalah lembaga independen, bukan eksekutif. Karenanya keliru meng-angket KPU maupun Bawaslu.
MK tidak punya kewenangan mendiskualifikasi pasangan nomor 2
Kesimpulan: Dari uraian saya, saya berpendapat bahwa pasangan nomor 1 & 3 susah untuk memenangkan permohonan mereka. Masih banyak uraian pembuktian yang akan kami majukan untuk mematahkan bukti-bukti narasi pasangan nomor 1 & 3.
Apalagi di debat Pilpres, pasangan nomor 1 & 3 mengakui legal standing, kehadiran khususnya cawapres Gibran, bahkan mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang cukup sulit ke Gibran untuk menguji kemampuannya yang ternyata dapat dijawab Gibran dengan baik dan secara akademis. Pasangan nomor 1 & 3 mestinya kalau tidak mengakui kehadiran mereka di acara debat, mereka melakukan tindakan Walk Out.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !