![]() |
H. Bahauddin Thonti |
Jakarta , Infobreakingnews - Ditengah
hiruk pikuk politik jelang pemilu 2014,banyak pihak mensinyalir akan kembali menempatkan
koruptor sebagai pemenang pemilu. Hal ini sudah nampak dari proses rekrutmen Calon
Anggota Legislatif (Caleg) dalam Pemilu 2014 yang masih memberikan tempat bagi
koruptor di beberapa partai politik.
Jelas, ini merupakan bentuk penyusupan
koruptor yang menjadikan partai politik sebagai tempat berlindung dan sarana
bagi koruptor untuk menguasai negara ini kembali melalui kekuasaan legislatif
yang powerfull. Hal ini dikarenakan
tidak adanya persyaratan bagi Caleg yang bebas korupsi, sebagaimana persyaratan
Caleg yang bebas Narkoba.
“Saya
tidak yakin dengan sistem penjaringan Caleg dari partai politik peserta pemilu
saat ini, karena dasar pertimbangannya masih membebankan pada kekuatan
finansial si Caleg semata, baik dalam mendapatkan nomor urut maupun dalam
penggunaan dana hasil korupsi pada saat kampanye nanti,” demikian ditegaskan
Bahauddin Thonti yang juga sebagai salah seorang inisiator pendirian Partai
Demokrat.
Menurut
Thonti, jika hal ini dibiarkan terjadi maka negara ini semakin mendekati jurang
kehancuran. Kebijakan strategis negara ini akan ditentukan oleh koruptor yang
telah nyata merampok uang rakyat. Ditengah kebingungan pemerintah yang sudah
kehabisan akal untuk membiayai APBN, kini rakyatnya akan dikorbankan kembali
untuk menanggung beban perekonomian yang semakin sulit, semakin menyengsarakan
dan memiskinkan rakyatnya.
"Untuk itu, momentum pemilihan presiden (Pilpres)
harus menjadi kekuatan rakyat untuk mengembalikan kedaulatan rakyat dalam
menentukan siapa pemimpin bangsa Indonesia yang mampu secara lahir-batin, bukan Capres yang senang
melakukan pencitraan atas diri dan kelompoknya.: Lanjut Thonti, yang juga merupakan pemerhati masalah Politik sekaligus penggagas berdirinya beberapa Parpol peserta Pemilu.
Dalam Pilpres mendatang juga para pemimpin Partai tidak memberikan jaminan akan bisa
melakukan perubahan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia . Hal ini menurut Thonti
karena sistem pergantian kepala pemerintahan hanya mengganti rezim dan
perangkatnya semata.
Seharusnya bangsa Indonesia harus lebih kritis
terhadap sistem pemerintahan yang sudah terbukti gagal menyejahterakan
rakyatnya. Perubahan sistem pemerintahan bukanlah hal yang tabu lagi untuk
dimusyawarahkan guna mencari bentuk atau system yang ideal bagi bangsa Indonesia .
Selain
mengkritisi system pemerintahan, Thonti juga menganggap bahwa Pilpres nanti
hanya akan memberikan legitimasi kepada Capres terpilih untuk melakukan
peminjaman utang luar negeri yang semakin menumpuk. Akibatnya, utang luar
negeri bangsa Indonesia
ini akan semakin menumpuk secara turun temurun. Sebagaimana diketahui utang
luar negeri saat ini diperkirakan telah mencapai angka 2.000 trilyun rupiah, diluar
utang swasta.
“Utang
pemerintah Indonesia dari zaman Megawati meninggalkan utang 600 trilyun rupiah dan
setelah pemerintahan SBY berkuasa 8 tahun utang luar negeri membengkak menjadi
2.000 trilyun rupiah. Pemerintah pun juga telah melakukan kebohongan kepada
rakyat Indonesia dan kepada dunia internasional yang menyatakan bahwa cadangan
devisa negara sebesar 100 milyat dollar tanpa ada pihak yang melakukan audit bagaimana penggunaan utang
tersebut buat kesejahteraan rakyat Indonesia,” ujar Thonti kepada media online digital life infobreakingnews.com, di
Jakarta, Kamis (26/4)
Lanjutnya,
apabila rakyat ingin melakukan perubahan, maka perlu diadakan perubahan sistem
pemerintahan dan mencari figur pemimpin yang tepat, yaitu pemimpin yang mampu
dengan nyata dan secepatnya bisa membayar utang luar negeri tersebut, bukan
hanya sekedar wacana atau janji “kalau
sudah jadi presiden” aja nanti.
“Figur yang pas untuk menjadi pemimpin bangsa Indonesia yang besar ini harus mengutamakan bisa
dan mampu mengangkat kesejahteraan rakyat melalui kesanggupannya membayar utang
pemerintah Indonesia
dan mengangkat citra bangsa dibanding citra diri hanya sekedar pencitraan belaka yang selalu ditonjolkan beberapa figur calon R1 di era Pilpres mendatang.
Karena bagaimanapun juga haruslah disadari oleh para ambisius Presiden RI mendatang, bahwa rakyat sudah sangat mapan cara berpikirnya dan tidak akan lagi tergoda dengan janji muluk melalui vissi missi yang selama ini dipublikasikan oleh media. Tetapi rakyat yang akan memilih itu itu nantinya semakin melihat sosok wibawa serta wawasannya , ketimbang ,melihat Parpol yang mengusungnya.
Contoh yang sangat jelas dimana masyarakat luas ibukota ketika memilih Jokowi menjadi Gubernur Jakarta, tidak ,melihat lagi soal Parpol yang mengusung Jakowi, tetapi justru melihat kemampuan yang dasyat dibalik low profil nya , membuat masyrakat lapisan bawah menyukainya.*** Candra Wibawanti
***Bahauddin Thonti ( Pemerhati masalah Politik dan Pakar Management Koperasi Kerakyatan Masyarakat Desa).
Setuju sekali Pak, setiap ganti presiden hutang negara makin banyak serta black konglo berganti wajah. bagaimana caranya bila, negara indonesia ini dipimpin bukan presiden?? seperti zaman Soekarno dengan Perdana Mentri nya?? Toh kita banyak kerajaan yang sudah mendunia sebelum republik dan sampai sekarang masih ada serta exis. Bapak kumpulkan saja seluruh Raja dari kerajaan2 di Indonesia dan urun rembuk atas masalah di atas asal jangan salah pilih; "raja2 an jualan ketoprak enak,lupa daratan dan gak sadarrrr". hehehe. Selamat ber karya!
BalasHapusMenyambung di atas, bagaimana sebagai pemerhati masalah politik bapak dorong juga KPK lebih independen dan berani juga membuka, membedah serta menangkap pejabat2 - pengusaha2 yang korupsi sejak Soekarno?? hehehe kan usul doank pak.
BalasHapus