Jakarta, infobreakingnews - Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dinilai gagal dalam menyusun kabinet yang ramping dan tidak tumpang tindih. Penilaian tersebut mengacu pada postur kabinet Jokowi yang berjumlah 34 kementerian, dengan 16 menteri akan berasal dari partai politik.
"Janji Jokowi untuk merampingkan kabinet atau restrukturisasi postur kabinet dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi, yang diharapkan menghindarkan tumpang tindih kewenangan kementerian, akhirnya gagal. Jokowi hanya berhasil di tingkat wacana, tetapi praktiknya nol besar," kata pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, kepada infobreakingnews.com, Selasa (16/9/2014) siang.
Kegagalan ini, kata Pangi, tak bisa dilepaskan dari orang-orang yang ada di sekitar Jokowi. Dia mencurigai, elite parpol pendukung hingga wakil presiden terpilih Jusuf Kalla mempunyai kepentingan terhadap jatah kursi menteri untuk parpol.
"Kita sama-sama tahu, JK dari awal kan enggak menginginkan restrukturisasi postur kabinet. Padahal, publik sudah berharap Jokowi mampu melakukan lompatan yang dahsyat dibandingkan dengan kabinet sebelumnya," ujar peneliti Nusantara Institute ini.
"Saya sendiri sudah berharap gebrakan dan sepak terjang Jokowi merampingkan kabinet sampai 27 kementerian. Namun, wacana itu dinodai oleh kepentingan elite itu sendiri," tambahnya.
Pangi berharap, janji Jokowi yang mewajibkan anggota parpol melepas jabatannya benar-benar dapat diterapkan. Dengan melepaskan jabatan struktural, Pangi meyakini, setidaknya kinerja anggota parpol akan lebih maksimal.
Sebelumnya, Jokowi mengatakan, 16 kementerian dalam pemerintahannya akan diisi figur menteri profesional dari partai politik. Sebanyak 18 kementerian lain diduduki figur menteri dari kalangan profesional murni.
Sementara ditempat terpisah pengamat politik Hendri Satrio mengatakan komitmen presiden terpilih Joko Widodo untuk tidak bagi-bagi kursi dalam kabinet mendatang dipertanyakan setelah memberi jatah 16 kursi menteri untuk kader partai politik. Jokowi dianggap mulai mengikuti arus politik.
"16 kursi untuk parpol jelas bagi-bagi kursi kekuasaan. Bahasa koalisi ramping dan kabinet ramping ternyata tidak bisa dia diterapkan," kata pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio.
Hendri menjelaskan, saat ini Jokowi telah masuk ke dalam realitas politik yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya. Jokowi, kata dia, tidak bisa menghadapi realitas tersebut sehingga terbawa kedalam arus.
"Realita yang memaksa dia untuk meyampingkan komitmen awal demi lancarnya roda kekuasaan. Saat berkuasa Jokowi tidak seberani melakukan perubahan seperti dia janjikan saat kampanye," lanjut Hendri.
Hendri berharap Jokowi tidak terlalu lama terbawa arus dalam pusaran politik ini. Meskipun diusung oleh parpol saat Pilpres, Jokowi harus ingat bahwa dia dipilih langsung oleh rakyat dan harus bertanggung jawab terhadap rakyat.
"Kalau hal ini terus terjadi, jangan kan melakukan perubahan, Jokowi pada akhirnya hanya akan menjadi penerus rezim," ujar Hendri.
"Kabinet kemarin juga sarat pencitraan. 34 Kabinet sama dengan SBY, hanya biar kelihatannya beda nomenclature dibedakan dan ditambah 3 kementerian baru yang sebetulnya tugas dan fungsinya masih sama dengan kementerian pada zaman SBY," tambahnya.
Dengan demikian maka rasanya sangatlah percuma hasil kerja rumah transisi yang semula diharapkan bisa mewujudkan postur kabinet yang ramping dan hebat. Dan lebih mubazir lagi adalah saran dari banyak elemen bangsa yang dimintai pendapat dan masukannya oleh mantan walikota Solo itu. Hal ini sangat membuat masyarakat mulai meragukan isi kampanye Jokowi yang penuh gembar-gembor tersebut. Justru nanti yang sangat ditakuti adalah amukan massa serta revolusi sosial atas kekecewaan terhadap orang yang terlanjur dijagokan. *** Emil F Simatupang.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !