Jakarta, Info
Breaking News – Petugas kepolisian sejatinya memang ditugaskan untuk
menyelidik, menyidik dan menangkap para pelaku kejahatan. Namun, apa jadinya
jika polisi yang seharusnya menjaga keamanan masyarakat justru malah membela
mereka yang melanggar hukum?
Pertanyaan
ini lantas menjadi bahan pemikiran yang mengiringi berjalannya persidangan kasus
penyerangan yang dialami petinggi KPK, Novel Baswedan.
Hartono
Tanuwidjaja, SH, MSi, MH, CBL, seorang pengacara senior yang akrab dengan kalangan
media pun menanggapi dan berkomentar seputar kasus Novel Baswedan. Ia mengakui
pengakuan kedua pelaku penyiraman air keras terhadap Novel, yakni Ronny Bugis
dan Rahmat Kadir Mahulette patut diacungi jempol.
Namun,
pengakuan keduanya justru menimbulkan tanda tanya di benak publik. Apa mungkin
peristiwa ini hanya direncanakan oleh dua orang tersebut? Bukankah mereka hanya
“tumbal” bagi pihak lain yang berkepentingan tertentu? Siapa sebenarnya dalang
di balik perbuatan tersebut dan apa dampaknya?
Pertanyaan-pertanyaan
ini muncul lantaran banyak yang menduga penyerangan Novel melibatkan sejumlah
pelaku lainnya.
Hartono
menyebut dirinya sangat menyayangkan kelakuan keduanya, apalagi mengingat
mereka tercatat sebagai anggota polri aktif yang sudah seharusnya melindungi
warga namun kini terjerat kasus penyerangan hanya karena dendam.
Lebih
lanjut, ia mengatakan kasus ini adalah kasus yang aneh. Bagaimana tidak? Sudah
jelas Ronny dan Rahmat mengaku salah, tetapi pihak kepolisian tetap saja membela.
“Hebat institusi kepolisian! Setelah
kedua pelaku mengakui perbuatannya, institusi kepolisian turun tangan langsung
melakukan pembelaan. Tidak tanggung-tanggung jenderal bintang dua yang masih aktif
berasal dari Divisi Hukum Polri bertindak sebagai advokat atau penasehat hukum
di peradilan umum,” ujarnya.
Yang kini jadi pertanyaan, apakah
pantas pelaku dibela institusinya? Apa benar keduanya pelaku yang sebenarnya?
Pelaku mempermalukan institusi kepolisian tapi malah dibela. Ada apa dibalik
ini semua?
Tidak sampai disitu, pembelaan dari
anggota polisi aktif tersebut, tambahnya, telah menimbulkan sejumlah pertanyaan
di kalangan publik. Apakah anggota polri aktif boleh atau tidak boleh melakukan
tugas rangkap sebagai advokat atau pembela umum di sidang pengadilan? Apakah
anggota polri aktif tugas rangkap sebagai advokat di persidangan tersebut telah
mempunyai Berita Acara Sumpah (BAS) sebagai advokat? Apakah anggota polri aktif
sesuai dengan tugas dan jabatan di Divisi Hukum Polri diwajibkan membela pelaku
kejahatan?
“Ini kekeliruan demi kekeliruan yang
seharusnya tidak boleh dibiarkan oleh hakim. Sebab, hal ini membuat masyarakat
bingung. Kita masyarakat ini disuguhi sandiwara yang tidak lucu. Kalau
dibiarkan berlanjut, nanti lama-lama sistem peradilan di Indonesia tidak ada
betulnya,” tegas Hartono.
Menurutnya, Kapolri harus mampu
menjelaskan duduk perkara. Mengapa anggota polri yang notabene adalah penegak
hukum dan pemberantas kejahatan bisa-bisanya membela pelaku tindak kejahatan
yang mengakibatkan korban cacat seumur hidup bahkan sampai berjuang untuk hidup
sampai menjalani pengobatan ke luar negeri.
Seperti diberitakan
sebelumnya, Irjen Rudy Heriyanto yang merupakan seorang anggota polisi aktif
dari Divisi Hukum Polri bertindak sebagai Ketua Tim Pembela Ronny dan Rahmat.
Dalam pembelaannya, secara mengejutkan ia meminta agar majelis hakim di Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Utara agar membebaskan kedua terdakwa karena sebagaimana
dalam nota pembelaannya ia mengatakan kedua terdakwa tidak merencanakan
perbuatan tersebut dan tidak ada maksud mencelakai ataupun melakukan
penganiayaan berat, melainkan hanya memberikan pelajaran atau memberikan efek
jera.
Anehnya lagi, jaksa penuntut mengajukan tuntutan selama 1 tahun penjara dan menyatakan kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melanggar sebagaimana diancam pidana dalam pasal 353 ayat (2) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kejanggalan-kejanggalan inilah yang nantinya bakal merusak sistem peradilan.
Pasalnya, lanjut Hartono,
seorang polisi aktif tak semestinya merangkap jabatan lain, termasuk menjadi
pengacara suatu kasus tindak pidana umum. Polisi selayaknya harus membela
kepentingan masyarakat yang menjadi korban dari tindak pidana.
Ditegaskannya, kemunculan jenderal
bintang dua polisi yang bertindak merangkap jabatan sebagai advokat jelas
menciderai proses terbangunnya sistem peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system) dan telah melangkahi kewenangan advokat/penasehat hukum
untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam memberikan bantuan hukum yang
maksimal kepada para pelaku tindak pidana berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat juncto 69-74 KUHAP.
Perkap No. 2 tahun 2017 juga mengatakan
pendampingan bantuan hukum untuk anggota polri aktif harus dicabut agar tidak bertentangan
dengan UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat. Sebab hal itu tidak mencerminkan
penegakan hukum yang konsekuen sesuai dengan tugas masing-masing dari penegak
hukum. Dengan adanya pendampingan bantuan hukum langsung dari institusi polri yang
bertindak sebagai advokat jelas akan menciderai tujuan awal hukum pidana.
“Apabila ada warga sipil masuk ke kantor polisi dan memakai pakaian dinas polisi padahal dia bukan polisi, apakah itu boleh dikatakan polisi palsu atau gadungan dan apakah dapat dilapor pidana? Atau seorang warga memakai toga pengacara dan ikut bersidang di pengadilan, padahal warga tersebut bukanlah seorang pengacara. Apakah warga tersebut dapat dikatakan pengacara palsu atau gadungan dan apakah juga dapat dilaporkan pidana?” tanyanya.
“Seseorang bisa menyandang
status polisi jika sebelumnya sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Hal itu
juga berlaku untuk menjadi seorang advokat. Dia harus berlatar belakang
pendidikan sarjana hukum, mengikuti PKPA dan sudah disumpah serta dilantik sebagai
advokat berdasarkan Berita Acara Sumpah (BAS) yang ditandatangani oleh pejabat
yang mengambil sumpah tersebut. Biasanya oleh Ketua Pengadilan Tinggi,” tegas
Hartono.
Dengan hal ini, Hartono pun berharap agar pihak kepolisian dapat membereskan jalannya perkara yang ‘melantur’ ini agar kedepannya sistem peradilan tak lagi dirusak dengan sandiwara hukum tanpa aktor seperti yang terjadi sekarang. ***Emil F. Simatupang
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !