Headlines News :
Home » » Komentari Kasus Novel, Hartono Tanuwidjaja: Polisi Bela Pelaku Kejahatan, Apa Pantas?

Komentari Kasus Novel, Hartono Tanuwidjaja: Polisi Bela Pelaku Kejahatan, Apa Pantas?

Written By Info Breaking News on Selasa, 23 Juni 2020 | 21.42

Advokat senior Hartono Tanuwidjaja, SH, M.Si, MH, CBL

Jakarta, Info Breaking News – Petugas kepolisian sejatinya memang ditugaskan untuk menyelidik, menyidik dan menangkap para pelaku kejahatan. Namun, apa jadinya jika polisi yang seharusnya menjaga keamanan masyarakat justru malah membela mereka yang melanggar hukum?

Pertanyaan ini lantas menjadi bahan pemikiran yang mengiringi berjalannya persidangan kasus penyerangan yang dialami petinggi KPK, Novel Baswedan.

Hartono Tanuwidjaja, SH, MSi, MH, CBL, seorang pengacara senior yang akrab dengan kalangan media pun menanggapi dan berkomentar seputar kasus Novel Baswedan. Ia mengakui pengakuan kedua pelaku penyiraman air keras terhadap Novel, yakni Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette patut diacungi jempol.

Namun, pengakuan keduanya justru menimbulkan tanda tanya di benak publik. Apa mungkin peristiwa ini hanya direncanakan oleh dua orang tersebut? Bukankah mereka hanya “tumbal” bagi pihak lain yang berkepentingan tertentu? Siapa sebenarnya dalang di balik perbuatan tersebut dan apa dampaknya?

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul lantaran banyak yang menduga penyerangan Novel melibatkan sejumlah pelaku lainnya.

Hartono menyebut dirinya sangat menyayangkan kelakuan keduanya, apalagi mengingat mereka tercatat sebagai anggota polri aktif yang sudah seharusnya melindungi warga namun kini terjerat kasus penyerangan hanya karena dendam.

Lebih lanjut, ia mengatakan kasus ini adalah kasus yang aneh. Bagaimana tidak? Sudah jelas Ronny dan Rahmat mengaku salah, tetapi pihak kepolisian tetap saja membela.

Hebat institusi kepolisian! Setelah kedua pelaku mengakui perbuatannya, institusi kepolisian turun tangan langsung melakukan pembelaan. Tidak tanggung-tanggung jenderal bintang dua yang masih aktif berasal dari Divisi Hukum Polri bertindak sebagai advokat atau penasehat hukum di peradilan umum,” ujarnya.

Yang kini jadi pertanyaan, apakah pantas pelaku dibela institusinya? Apa benar keduanya pelaku yang sebenarnya? Pelaku mempermalukan institusi kepolisian tapi malah dibela. Ada apa dibalik ini semua?

Tidak sampai disitu, pembelaan dari anggota polisi aktif tersebut, tambahnya, telah menimbulkan sejumlah pertanyaan di kalangan publik. Apakah anggota polri aktif boleh atau tidak boleh melakukan tugas rangkap sebagai advokat atau pembela umum di sidang pengadilan? Apakah anggota polri aktif tugas rangkap sebagai advokat di persidangan tersebut telah mempunyai Berita Acara Sumpah (BAS) sebagai advokat? Apakah anggota polri aktif sesuai dengan tugas dan jabatan di Divisi Hukum Polri diwajibkan membela pelaku kejahatan?

“Ini kekeliruan demi kekeliruan yang seharusnya tidak boleh dibiarkan oleh hakim. Sebab, hal ini membuat masyarakat bingung. Kita masyarakat ini disuguhi sandiwara yang tidak lucu. Kalau dibiarkan berlanjut, nanti lama-lama sistem peradilan di Indonesia tidak ada betulnya,” tegas Hartono.

Menurutnya, Kapolri harus mampu menjelaskan duduk perkara. Mengapa anggota polri yang notabene adalah penegak hukum dan pemberantas kejahatan bisa-bisanya membela pelaku tindak kejahatan yang mengakibatkan korban cacat seumur hidup bahkan sampai berjuang untuk hidup sampai menjalani pengobatan ke luar negeri.

Seperti diberitakan sebelumnya, Irjen Rudy Heriyanto yang merupakan seorang anggota polisi aktif dari Divisi Hukum Polri bertindak sebagai Ketua Tim Pembela Ronny dan Rahmat. Dalam pembelaannya, secara mengejutkan ia meminta agar majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara agar membebaskan kedua terdakwa karena sebagaimana dalam nota pembelaannya ia mengatakan kedua terdakwa tidak merencanakan perbuatan tersebut dan tidak ada maksud mencelakai ataupun melakukan penganiayaan berat, melainkan hanya memberikan pelajaran atau memberikan efek jera.

Anehnya lagi, jaksa penuntut mengajukan tuntutan selama 1 tahun penjara dan menyatakan kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melanggar sebagaimana diancam pidana dalam pasal 353 ayat (2) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kejanggalan-kejanggalan inilah yang nantinya bakal merusak sistem peradilan.

Pasalnya, lanjut Hartono, seorang polisi aktif tak semestinya merangkap jabatan lain, termasuk menjadi pengacara suatu kasus tindak pidana umum. Polisi selayaknya harus membela kepentingan masyarakat yang menjadi korban dari tindak pidana.

Ditegaskannya, kemunculan jenderal bintang dua polisi yang bertindak merangkap jabatan sebagai advokat jelas menciderai proses terbangunnya sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) dan telah melangkahi kewenangan advokat/penasehat hukum untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam memberikan bantuan hukum yang maksimal kepada para pelaku tindak pidana berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat juncto 69-74 KUHAP.

Perkap No. 2 tahun 2017 juga mengatakan pendampingan bantuan hukum untuk anggota polri aktif harus dicabut agar tidak bertentangan dengan UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat. Sebab hal itu tidak mencerminkan penegakan hukum yang konsekuen sesuai dengan tugas masing-masing dari penegak hukum. Dengan adanya pendampingan bantuan hukum langsung dari institusi polri yang bertindak sebagai advokat jelas akan menciderai tujuan awal hukum pidana.

“Apabila ada warga sipil masuk ke kantor polisi dan memakai pakaian dinas polisi padahal dia bukan polisi, apakah itu boleh dikatakan polisi palsu atau gadungan dan apakah dapat dilapor pidana? Atau seorang warga memakai toga pengacara dan ikut bersidang di pengadilan, padahal warga tersebut bukanlah seorang pengacara. Apakah warga tersebut dapat dikatakan pengacara palsu atau gadungan dan apakah juga dapat dilaporkan pidana?” tanyanya.

“Seseorang bisa menyandang status polisi jika sebelumnya sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Hal itu juga berlaku untuk menjadi seorang advokat. Dia harus berlatar belakang pendidikan sarjana hukum, mengikuti PKPA dan sudah disumpah serta dilantik sebagai advokat berdasarkan Berita Acara Sumpah (BAS) yang ditandatangani oleh pejabat yang mengambil sumpah tersebut. Biasanya oleh Ketua Pengadilan Tinggi,” tegas Hartono.

Dengan hal ini, Hartono pun berharap agar pihak kepolisian dapat membereskan jalannya perkara yang ‘melantur’ ini agar kedepannya sistem peradilan tak lagi dirusak dengan sandiwara hukum tanpa aktor seperti yang terjadi sekarang. ***Emil F. Simatupang


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved