![]() |
Ketua Forum Wartawan Mahkamah Agung RI (FORWAMA) Emil F Simatupang bersama Hakim Agung Prof. Dr. Yanto Yang juga menjabat sebagai Juru Bicara MA |
Jakarta, Info Breaking News - Mustinya statemen yang sudah digariskan secara tegas dan jelas oleh para pendahulu yang menjabat posisi strategis sebagai Ketua DPR RI bisa terus berjalan secara priodik, namun kenyataan yang ada yang dirasakan oleh masyarakat luas, betapa brutal dan munafiknya para pemangku jabatan strategis sehingga kebobokan moral itulah sekarang yang membuat secara gampang dan tanpa sadar sejumlah anggota DPR RI dan sejumlah Pejabat teras bahkan sejumlah penguasa menjadi sok hebat sehingga keluar dari mulut munafiknya kata kata yang membakar amarah rakyat, sebagaimana yang kita rasakan dalam sepekan belakangan ini.
Soal Presiden Prabowo minta maaf dan langsung turun tangan dan mendatangi para korban, lalu diikuti oleh sejumlah jajaran dbawahnya, adalah merupakan hal lumrah, bukan sesuatu yang luar biasa, karena amarah rakyat sudah bersatu padu turun kejalan, walau memang tidak dapat dipungkuri selalu saja kondisi keos seperti ini ada banyak pihak yang menyusup dan melakukan tindakan anarkis.
Apalagi belakangan ini masyarakat sudah sangat muak dan jijik melihat banyaknya oknum hakim yang ditangkap karena menjual belikan perkara yang ditanganinya, tanpa perduli perkara itu menyangkut nyawa yang telah tewas secara mengenaskan seperti pada kasus tertangkap nya sejumlah hakim di PN Surabaya.
Belum habis kekagetan rakyat soal ditangkapnya 4 hakim di PN Surabaya itu, mendadak diikuti pula dengan tertangkapnya 4 orang hakim karier lagi di PN Jakarta Pusat maupun PN Jakarta Selatan, terkait vonis lepas para koruptor kelas kakap yang sudah membuat susah masyarakat pada saat krisis minyak goreng beberapa waktu lalu.
Dan kejahatan lainnya dari banyak oknum pengusaha seperti tertangkapnya wamenaker Noel yang baru Dua Bulan dilantik, yang dulunya Noel adalah tukang Gojek dan kemudian berubah menjadi relawan nya lalu menjadi pejabat teras di pemerintahan Prabowo- Gibran, tapi jahatnya dan rakusnya terlihat dari uang 3 M dan belasan mobil mewahnya yang disita KPK, serta penghinaan yang keluar dari mulut busuknya eks wakil ketua komisi III Ahmad Sahroni dan anggota DPR RI lainnya yang memicu kemarahan rakyat, hingga tewasnya terlindas Rantis Brimod driver Ojol yang merupakan martir aksi demostran yang banyak menimbulkan kerusakan besar dan korban jiwa.
Semua akumulasi kepedihan hati rakyat tersebut diatas karena sejatinya tidak sedikit pejabat di Indonesia yang memanfaatkan posisinya demi keuntungan pribadi, baik mengejar fasilitas maupun materi. Para pejabat yang merasa bertindak demikian seharusnya belajar dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR) periode 1971-1977, yaitu Idham Chalid.
Alih-alih menggunakan jabatan untuk memperkaya diri, Idham Chalid memilih jalan hidup lain. Dia tidak pernah memakai mobil dinas, melarang istrinya belanja dengan uang di luar gaji, hingga menjalani pensiun sebagai ulama.Politisi NU
Idham Chalid adalah ulama sekaligus politisi Nahdlatul Ulama (NU). Pada 1956, di usia 34 tahun, dia terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU. Saat itu, NU bukan hanya organisasi Islam, melainkan juga partai politik. Pada Pemilu 1955, NU menempati posisi keempat dengan 45 kursi parlemen. Menurut Greg Fealy dalam buku Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama, 1952-1967 (2009), pencapaian ini tidak lepas dari peran Idham sebagai ketua tim pemenangan.
Dari titik inilah karier politiknya menanjak. Saat Indonesia menjalani demokrasi parlementer, dia pernah menjabat Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda (1956-1959). Idham juga pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) (1963-1966).
Saat terjadi peralihan kekuasaan, karier loyalis Soekarno itu tetap berlanjut. Di era Soeharto, dia sempat menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat (1968-1971) sebelum akhirnya duduk sebagai Ketua DPR/MPR pada 1971. Meski berada di lingkar kekuasaan, sikapnya tetap konsisten, yakni sederhana dan menjauhi fasilitas negara.
Larang Keluarga Makan Duit Haram dan Ogah Bohongi Rakyat
Posisi Idham sebagai ketua DPR/MPR pada 1971 sangat mentereng. Kala itu, DPR/MPR adalah lembaga tertinggi negara yang kedudukannya berada di atas presiden. Lewat posisi itu, Idham bisa memberhentikan dan mengangkat presiden berdasarkan kehendak rakyat.
Namun, jabatan yang diemban tak membuat Idham melupakan integritas, terutama dalam hal kesederhanaan.
Dalam sebuah buku biografi berjudul Selayang Pandang K.H. Idham Chalid (2022), disebutkan Idham tidak pernah menggunakan mobil dinas di luar agenda pekerjaan. Dia juga dengan tegas melarang istrinya memakai uang selain dari gaji resminya untuk kebutuhan sehari-hari. Baginya, keluarganya tidak boleh memakan uang yang haram.
Selain itu, Idham juga selalu mengingatkan para bawahannya untuk tidak membohongi rakyat. Menurut pemberitaan koran Abadi (18 Juli 1972), dia menegaskan masyarakat tidak bisa terus-menerus ditipu dengan janji-janji manis. Sekalipun rakyat bisa dibohongi dengan berbagai omongan, tetapi mereka lebih cerdas karena melihat langsung perbuatan nyata.
"Masyarakat mungkin bisa dibohongi dengan omongan-omongan, tetapi tidak bisa dengan perbuatan-perbuatan nyata," ungkap Idham.
Masa jabatan Idham sebagai Ketua DPR/MPR berakhir pada 1977. Posisinya sebagai Ketua PBNU juga berakhir pada 1974. Setelahnya dia benar-benar pensiun dari dunia politik dan memilih kembali ke jalan dakwah sebagai guru ngaji. Diketahui, dia memimpin berbagai lembaga keagamaan dan aktif mengajari ratusan santri terkait keagamaan.
Idham sendiri wafat pada 11 Juli 2010. Setahun kemudian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Idham gelar Pahlawan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar