Rubrik
Hukum, infobreakingnews - Kabar gembira dari Mahkamah Konstitusi
(MK), yang mengabulkan sebagian uji materi UU No,41 Tahun
1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat yaitu Kanegerian Kuntu dan Kasepuhan
Cisitu. Alhasil, puluhan juta hektar hutan adat yang tadinya diklaim sebagai
hutan negara diakui keberadaannya dan dapat dikelola oleh masyarakat adat yang
menempatinya.
Dalam
putusannya, MK membatalkan sejumlah kata, frasa dan ayat dalam UU Kehutanan
itu. Misalnya, MK menghapus kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan,
sehingga Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”
MK juga
menafsirkan bersyarat Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang tidak
dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
tidak termasuk hutan adat” dan menghapus frasa “dan ayat (2)” dalam
Pasal 5 ayat (3).
“Pasal
4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘penguasaan hutan oleh negara
tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang,’” ucap Ketua Majelis MK M. Akil Mochtar
saat membacakan putusannya di Gedung MK, Kamis (16/5).
Mahkamah
berpendapat harus ada pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat,
sehingga dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai negara dengan
hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan
negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan,
dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara.
Terhadap
hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup
dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam cakupan hak ulayat dalam satu
kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat.
”Para
warga masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk
dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan
keluarganya. Jadi, tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu ditiadakan
atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan
masyarakat hukum adat seperti dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945,” kata Hakim
Konstitusi M. Alim saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Dengan
demikian, hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara
dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat (hak ulayat) dan
hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan
yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara.
“Setelah
dibedakan antara hutan negara dan hutan hak, maka tidak dimungkinkan hutan hak
berada dalam wilayah hutan negara. Atau sebaliknya hutan negara dalam wilayah
hutan hak seperti dinyatakan Pasal 5 ayat (2) dan hutan hak ulayat dalam hutan
negara,” lanjut Alim.
Usai sidang,
Sekjen AMAN Abdon Nababan menyambut baik putusan MK ini. Pasalnya, dengan
putusan ini masyarakat hukum adat dapat kembali memperoleh haknya yang dijamin
konstitusi. “Pengeloaan hutan ada ada ditangan masyarakat adat, ini mendorong
proses rekonsiliasi sesungguhnya. Selama ini ribuan masyarakat adat masuk
penjara gara-gara soal ini,” kata Abdon.
Meski
begitu, dengan adanya putusan MK ini bukan serta merta masyarakat adat berhak
mengelola hutannya tanpa adanya aturan dari pemerintah (Kementerian Kehutanan).
Karena itu, Abdon meminta pemerintah segera menindaklanjuti putusan MK
ini dengan membuat peraturan pengelolaan hutan adat berikut pemetaannya.
“Dengan
adanya putusan ini, hutan adat bukan lagi hutan negara. Harus ada pakem
(aturan) hukum yang mengaturnya, pemerintah tidak bisa lepas tangan. Pemerintah
harus tetap memastikan fungsi ekologis hutan adat,” pintanya.
Menurutnya,
jika pemerintah tidak segera mengeluarkan ketentuan yang mengatur tentang
pengelolaan maupun pemetaan hutan adat, akan muncul masalah baru. Sebab, MK
hanya mengembalikan keberadaan hutan adat seperti dalam UUD 1945, bukan membuat
regulasi baru.
“Tanpa
adanya aturan hutan adat, statusnya masih belum bisa dibedakan, mana yang hutan
adat dan mana yang bukan. Dalam data Kementerian Kehutanan pun, belum ada peta
yang menegaskan daerah mana saja yang termasuk dalam hutan adat. Ini agar tidak
ada konflik baru yang dimanfaatkan pihak lain,” lanjutnya.
Sebelumnya,
para pemohon menguji Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan sepanjang mengenai kata “negara”,
Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “dan diakui keberadaannya serta tidak
bertentangan kepentingan nasional”, Pasal 5 ayat (1) sepanjang frasa “hutan
berdasarkan statusnya terdiri dari (a) hutan negara, (b) hutan hak,” ayat
(2) dan sepanjang frasa “pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), (2) dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaannya”, dan ayat (4), Pasal 67 UU Kehutanan.
Pemohon
menilai sejak berlakunya UU Kehutanan terbukti sebagai alat negara untuk
mengambil alih hutan hak kesatuan masyarakat adat dalam mengelola hutan yang
kemudian dijadikan hutan negara. Atas nama negara, hutan (adat)
dijual/diserahkan kepada pemilik modal dieksploitasi tanpa memperhatikan hak
dan kearifan lokal masyarakat adat di wilayah itu. Tak jarang, hal ini menyulut
konflik antar masyarakat hukum adat dengan pengelola baru atas hutan adat
mereka.
Guna
melengkapi harapan mereka itu MK juga agar dapat mengubah dan membatalkan
beberapa pasal dalam UU Kehutanan itu karena bertentangan dengan Pasal 18B ayat
(2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (3), UUD 1945,
dimana pasal tersebut selama ini membuat banyak masyarakat di berbagai daerah menjadi
menderita.
Editor
Internal
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !