Jayapura, infobreakingnews. Para pakar bahasa Indonesia kini turut Prihatin akan persoalan bangsa yang kian hari makin runyam, sehingga tergerak untuk bicara dan memberikan pikiran dan analisa sebagai masukan bagi Tokoh Bangsa ini yang sedang haus kekuasaan dan bertikai merebut kekuasaan dengan dalil demi kemakmuran masyarakat dan Bangsa. Salah satunya adalah Drs. Robert Masreng, M.Hum, Dosen Universitas Cenderawasih Jayapura Papua dan Kandidat Doktor Linguistik (Ilmu Bahasa Indonesia) pada Universitas Udayana Denpasar Bali.
Berikut wawancara infobreakingnewsdengan tokoh Bahasa Indonesia ini. "Tabuh genderang Pilpres 2014 diawali dengan sebuah pernyataan kontroversi dan provokatif dari mantan ketua umum PAN Amin Rais yakni Perang Badar. Pernytaan tersebut dinyatakan untuk memacu semangat juang tim pemenangan Prabowo dan Hatta. Namun ternyata Pak Amin Rais telah salah menempatkan konteks pemilihan umum khususnya yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia dengan berbagai kekuatan politik. Pak Amin Rais tidak sadar bahwa yang bertarung dalam Pilpres 2014 adalah calon pemimpin yang berlatar belakang Muslim tulen (bukan pasukan Quraisy). Pernytaan Pak Amin Rais patut diduga memicu munculnya tabloid yang memfitnah dan mendiskreditkan ke-Islam-an Joko Widodo. Karena pernyataan Amin Rais Lebih dahulu daripada Tabloid Obor. Pernyataan Pak Amin juga sadar atau tidak sadar memunculkan tindakan anarkis di Yogyakarta terhadap golongan tertentu yang sedang melaksanakan kewajiban agamanya. Pak amin telah salah menempatkan istilah tersebut dalam konteks bahwa jumlah partai yang banyak mendukung Prabowo-Hatta (ibarat seribu Pasukan Quraisy) ditambah lagi dengan datangnya Demokrat pada saat terakhir. Sedangkan kubu Jokowi-Jusup Kalla hanya terdiri dari 4 partai yang memperoleh suara 10% ke bawah; hanya PDIP yang mencapai 19% (sama dengan Pasukan Islam berjumlah 313) yang menghadang pasukan Quraisy. Mudah-mudahan Pak Amin sadar bahwa apa yang diucapkan itu telah salah dan memunculkan penafsiran yang keliru oleh masyarakat.
Seharusnya Pilpres bukan dijadikan ajang untuk saling menyerang dengan cara-cara yang tidak bermartabat dan tidak beretika. Memang kedua kubu saling melontarkan kritik dan intimidasi dengan kata-kata yang kasar dan tak bersantun. Namun tampaknya tidak berimbang. Kubu Jokowi-JK lebih diserang dengan cara-cara yang tidak beradab dan melanggar hukum dan etika. Misalnya, Jokowi tuduh melanggar sumpah jabatan gubernur karena belum 5 tahun sudah mencalonkan diri menjadi Presiden. Inikan mengada-ada. Dalam sumpah itu tidak ada yang menyebutkan harus 5 tahun baru meninggalkan jabatannya. Yang ada hanya melakasanakan tugas sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya. Tidak saja itu, Jokowi disangkutkan dengan koropsi bus trans Jakarta. Tim di sebelah tidak mengerti siapa yang tersangka dan siapa yang harus dimintakan keterangan sebagai saksi. Kedua leksikon ini berbeda dalam substansi. Tersangka disandang oleh seseorang karena ia diduga melakukan tindakan atau perbuatan melawan hukum. Sedangkan saksi hanya dimintakan keterangan karena diduga mengetahui, melihat dan mendengarkan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum.
Hal yang cukup mengherankan bagi kita adalah seorang wakil Sekjen PPP (Fahri Hamzah) yang nota bene adalah seorang Muslim yang taat mengatakan ide menetapkan hari Santri Nasional dibilangnya sinting. Fahri tidak mengerti bahasa Indonesia tetapi berlagak lebih tahu dari seorang guru atau ahli bahasa. Memang kalau sudah titik berarti kalimat sudah selesai, tetapi maknanya belum selesai ditafsirkan sesuai konteks penggunaannya. Fahri secara tidak langsung telah menyerang Jokowi dengan dengan pernyataannya. Fahri ingin berlindung di balik metafora ide sinting tetapi bukan pada tempatnya. Karena yang mengatakan itu adalah seorang calon presiden yang sedang membaca perubahan waktu dan perubahan zaman. Ia tahu apa yang diinginkan oleh rakyat dan rakyat pun tahu siapa yang membaca keinginan mereka. Ini bukan bukan dalam konteks bercanda tetapi ini dalam konteks menyerang kepribadian orang atau calon Presiden RI yang sedang mengakomodir keinginan dan kebutuhan rakyat pada saat ini.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa kita sedang kehilangan kesantunan berkomunikasi. Kehilangan kesantunan berarti kehilangan etika dan kehilangan sikap saling menghormati. Belum lagi muncul pernyataan Ali Mocthar Ngabalin yang mengatakan Indonesia tidak boleh dipimpin oleh Presiden yang kurus kerempeng saat deklarasi Tim Pemenangan Prabowo-Hatta di Hotel Aston Jayapura beberapa waktu yang lalu. Ali berkilah bahwa dia hanya meminjam istilah yang dipakai oleh ibu Mega untuk Pak Jokowi. Ali tidak sadar bahwa dia tidak memiliki hubungan emosional apapun dengan pak Jokowi selain lawan pada saat ini. Ucapan Ali jelas-jelas melanggar undang-undang Pilpres karena menyerang pribadi tetapi masih juga berkilah. Inikah yang namanya memutar lidah 360 derajat? Atau ingin tenar dengan mengabaikan nilai-nilai kesantunan dan etika.
Rakyat Indonesia sedang khawatir dengan bergesernya warna lambang kehormatan bangsa yakni Garuda Emas menjadi garuda merah. Tahukah yang menggunakan lambang tersebut. Lambang tersebut bukan hasil cipta tim tertentu, tetapi adalah milik bangsa Indonesia yang tidak boleh digunakan oleh orang per orang atau golongan per golongan. Perubahan garuda emas menjadi garuda merah berindikasi garuda yang akan memangsa rakyatnya, garuda berhaluan keras, garuda yang suka minum darah. Terlepas dari makna tersebut, tetapi telah terjadi pelecehan simbol Negara yang harus dihormati setiap anak bangsa. Inikah yang namanya menghormati supremasi hukum?
Penegakan hukum terhadap semua fenomena di atas harusnya tuntas sebelum pelaksanaan Pilpres 9 Juli 2014. Kasus Tabloid Obor harus ada kepastian hukum. Kasus Pembuat surat palsu Jokowi sebagai gubernur DKI harus tuntas. Kasus Fahri dan Ali Mochtar harus ada kepastian hukum. Rakyat saat ini sedang menunggu kepastian hukum untuk menyatakan bahwa hukum adalah Raja untuk semua orang tanpa terkecuali. Hukum harus ditegakan. Moralitas bangsa harus dijaga agar tidak tercabik-cabik oleh perebutan kekuasaan dan pengabaian norma-norma hukum yang berlaku di negeri ini. Harusnya kita semua sadar bahwa kita tidak akan mengubah bangsa ini kalau kita belum mengubah diri kita sendiri. Karena dengan mengubah kita sendiri maka semua orang akan menjadi satu kekuatan yang dahsyat untuk membangun bangsa kita ini.
Akhirnya semoga tanggal 9 Juli 2014 adalah tanggal yang menghadirkan pemimpin yang dikehendaki oleh rakyat, bukan pemimpin yang dikehendaki oleh kekuasaan dan dan kekuatan politik barter. *****Petra
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !