![]() |
Jakarta, infobreakingnews
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU
KPK) kembali dimohonkan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Advokat Tonin
Tachta Singarimbun menguji konstitusionalitas frasa “penegak hukum” dalam pasal
11 huruf a UU KPK. Sidang perdana perkara teregistrasi Nomor 70/PUU-XIV/2016 tersebut
digelar Rabu (21/9/2016) di Ruang Sidang MK.
Pemohon mengujikan Pasal
11 huruf a yang berbunyi:
“Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang : (a)melibatkan aparat
penegak hukum, penyelenggara negara, dan
orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara”.
Pemohon memaparkan
permohonannya mengaitkan dengan perkara pra-peradilan Nomor
012/PraPid/2016/PN.JKT.PST. Dalam perkara tersebut, Tonin menjelaskan KPK telah
salah memaknai advokat sebagai aparat penegak hukum sebagaimana tercantum dalam
Pasal 11 huruf a UU KPK. Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar
karena KPK memaknai advokat sebagai penegak hukum.
Selain itu, Pemohon juga
mendalilkan kata “aparat” dalam pasal a quo. Kata tersebut, menurutnya, identik
dengan profesi yang diberikan negara/pemerintah dan harus memiliki kewenangan
yang biasa digunakan dalam lapangan penegakan hokum, seperti polisi, kejaksaan,
KPK, Kehakiman dan lain-lain.
Lebih lanjut, menurut
Pemohon, dalam frasa “aparat penegak hukum”, setidaknya mengandung
pendanaan/pembiayaan yang berasal dari APBN.
“Sedangkan advokat adalah
profesi yang disahkan negara berdasarkan undang-undang dan pendiriannya tidak
termasuk kriteria lembaga negara/pemerintah. Selain itu, advokat tidak memiliki
kewenangan dan kekuasaan dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan karena
hanya menjalankan profesi sebagaimana dengan jelas pada UU tentang Advokat,
sehingga advokat seharusnya tidak dianggap sebagai aparat,” paparnya dalam
sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Oleh karena itu, Pemohon
berharap agar Mahkamah menyatakan frasa “aparat penegak hukum” pada norma Pasal
11 huruf a UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang
dimaknai “advokat dan atau pemberi jasa hukum”.
Menanggapi permohonan
tersebut, Hakim Konstitusi Maria memberikan saran perbaikan bagi Pemohon. Maria
menjelaskan dalil pemohon mengenai kerugian permohonannya tidak terlihat jelas.
“Jadi di sini Anda
menguraikan apa itu aparat penegak hukum, apa itu penyelenggara negara, tapi
Anda tidak menyatakan Pasal 11 huruf a itu apa. Justru di sini yang penting
adalah Anda mengaitkan Pasal 6 huruf c dan Pasal 11 huruf a. Itu ada
permasalahan di sana, sehingga kewenangan konstitusional Anda dilihat, ini kok
dilihat dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 apakah kewenangan Anda itu
dirumuskan di dalam undang-undang ini, sehingga mengurangi dan merugikan hak
konstitusional Anda,” jelasnya.
Sementara itu, Hakim
Konstitusi Aswanto yang juga menjadi anggota panel meminta agar pemohon memperbaiki
petitum dalam permohonan. Ia menilai petitum tersebut tidak masuk akal dan
tidak lazim.
“Sebenarnya petitum nomor
4 ini tidak lazim, yakni menyatakan terbukti kerugian Pemohon yang sangat
mendasar. Sebab, nanti MK melihat bahwa terjadi pertentangan norma, berarti
norma ini dinyatakan tidak mengikat atau tidak berlaku, atau sesuai dengan yang
Saudara minta,” tandasnya.
Pemohon diberi waktu 14
hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya akan digelar dengan
agenda perbaikan permohonan. *** Dody Zuhdi



0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !