![]() |
Jakarta, Info Breaking News –
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan terpidana kasus Bank Century, Robert
Tantular terkait dengan pengujian Pasal 272 KUHAP serta Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 KUHP yang
membahas mengenai penjatuhan pidana dalam tidak pidana gabungan atau tindak
pidana berlanjut.
"Amar putusan mengadili, menolak permohonan pemohon
untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat
membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin (15/4/2019).
Penolakan terhadap permohonan Robert
tersebut lantaran MK menilai seluruh pasal yang diujikan oleh Robert tidak memiliki
persoalan konstitusionalitas norma terhadap UUD 1945, sehingga dalil tersebut
dianggap tidak beralasan menurut hukum.
Sebelumnya
Robert selaku pemohon merasa dirugikan atas pemberlakuan pasal tersebut, karena
pihak penyidik dari Bareskrim Polri dengan sengaja mengajukan perkara secara
terpisah-pisah menjadi enam laporan dan menaikkan status berkas perkara secara
dicicil sehingga pemohon harus menjalani beberapa kali persidangan yang berbeda
dan dijatuhi empat putusan pengadilan yang diakumulasi menjadi 21 tahun pidana
penjara.
Terkait
dengan dalil tersebut Mahkamah menjelaskan makna sesungguhnya dari norma Pasal
272 KUHAP adalah norma yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan pengadilan.
"Ketika
seorang dipidana dengan pidana penjara atau pidana kurungan dan belum menjalani
pidana akan tetapi kemudian dijatuhi pidana lagi, maka terpidana menjalani
pidana secara berturut-turut dimulai dengan pidana yang terlebih dahulu telah
dijatuhkan," ujar Hakim Konstitusi Aswanto membacakan pertimbangan
Mahkamah.
Artinya, terpidana di dalam menjalani masa pidana harus
dijalani secara berurutan sesuai dengan urutan putusan pengadilan yang
dijatuhkan terhadapnya. Dengan kata lain terpidana tidak boleh menjalani pidana
dengan mendahulukan putusan pengadilan yang dijatuhkan kepadanya setelah
putusan pengadilan yang lebih terdahulu.
Selain
itu Mahkamah juga menjelaskan bahwa Pasal 272 KUHAP yang mengatur tindak pidana
perbarengan tidaklah relevan karena tak berkaitan dengan pengajuan berkas
perkara secara terpisah.
Karena
hakikat tindak pidana perbarengan yang diatur dalam Pasal 63 KUHP adalah adanya
satu peristiwa tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku namun tindakan itu
melanggar beberapa ketentuan pidana sekaligus, jelas Mahkamah.
"Meskipun
penuntutan oleh jaksa penuntut umum dan penjatuhan pidana oleh hakim dalam
tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling)
dan gabungan tindak pidana (concursus realis) tidak
diajukan secara serentak atau diajukan secara terpisah (splitsing) tidak berakibat
penuntutan dan penjatuhan pidana menjadi batal demi hukum," jelas Aswanto.
Oleh
sebab itu Mahkamah menilai dalil pemohon yang menyatakan norma pasal-pasal
tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang
tidak berdasar. ***Samuel Art
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !