Oce Madril |
Jakarta, Info Breaking News - Pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwenang dalam menentukan batasan usia minimal capres maupun cawapres.
Menurutnya, syarat usia capres dan cawapres merupakan kewenangan DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang.
"Penentuan mengenai persyaratan usia minimum bagi pejabat publik merupakan kewenangan sepenuhnya dari pembentuk undang-undang, bukan kewenangan MK," katanya, Jumat (13/10/2023).
Diketahui, MK menjadwalkan sidang pembacaan putusan uji materi terkait ketentuan batas minimal usia pasangan capres dan cawapres yang diatur dalam UU Pemilu, Senin (16/10/2023) mendatang. Sebelumnya, ada tujuh permohonan uji materi terkait hal serupa yang putusannya akan dibacakan majelis hakim konstitusi.
Pasal yang diuji adalah Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu yang mengatur batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun.
Para pemohon meminta agar batas syarat minimal usia tersebut diturunkan dengan standar berbeda. Ada yang meminta batasnya diturunkan menjadi 30 tahun maupun 35 tahun, hingga pemohon yang meminta agar ditambahkan syarat alternatif, yakni berpengalaman sebagai penyelenggara negara atau kepala daerah.
Oce Madril mengatakan, perkara tersebut kontroversial karena berhubungan dengan pendaftaran capres dan cawapres Pilpres 2024 yang akan dibuka KPU pada 19 Oktober 2023.
Dikatakan, berdasarkan sejumlah putusan sebelumnya, MK telah menegaskan persyaratan usia minimum bagi seseorang untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik, merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Dengan demikian, penentuan mengenai persyaratan usia minimum bagi pejabat publik merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
"UUD 1945 tidak mengatur soal angka-angka atau syarat usia sebuah jabatan publik. Berbagai jenis jabatan publik di pemerintahan, persyaratan usianya diatur dalam undang-undang," ungkap pria yang juga merupakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (Pushan) itu.
Menurut Oce, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 telah mengatur syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Selanjutnya, Pasal 169 UU Pemilu mengatur persyaratan capres dan cawapres yang salah satunya adalah usia minimal 40 tahun.
"Sehingga telah jelas, syarat usia yang ditentukan oleh UU Pemilu sebagai peraturan delegasi dari Pasal 6 UUD 1945," ucapnya.
Oce juga menilai MK akan melanggar prinsip open legal policy yang ditegaskan dalam berbagai putusannya jika menambahkan syarat baru, seperti berpengalaman sebagai penyelenggara negara atau kepala daerah. Tak hanya itu, hal tersebut juga dapat dikatakan melanggar Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang telah memerintahkan agar syarat capres dan cawapres diatur dalam UU Pemilu.
Sebagai contoh, dalam putusan MK terbaru, yakni putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 terkait syarat usia minimal 50 tahun untuk dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK. Dalam putusan itu, MK dikatakan tidak mengubah syarat usia minimal, tetapi menambahkan syarat seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK, dapat mencalonkan kembali untuk menjadi pimpinan KPK pada periode kedua, meskipun umurnya kurang dari 50 tahun.
Dikatakan, putusan itu tidak mengubah usia minimal untuk menjadi pimpinan KPK yang telah ditentukan dalam UU KPK.
"MK memang menambahkan syarat baru, tetapi syarat tersebut sangat terbatas hanya berlaku bagi pimpinan KPK yang sedang menjabat apabila ingin mencalonkan kembali menjadi pimpinan KPK di periode kedua. Syarat baru tersebut tidak berlaku bagi umum, jadi sangat spesifik," paparnya.
MK, lanjut Oce, masih konsisten dengan pendiriannya mengenai syarat usia merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy yang ditentukan oleh undang-undang, bukan oleh putusan MK. Ia pun berharap MK tetap berpegang pada pendirian tersebut, termasuk dalam memutus uji materi syarat usia capres dan cawapres.
"Apabila nantinya MK mengubah pendiriannya dalam putusan berkaitan dengan usia minimal capres dan cawapres, MK dapat dianggap larut dalam dinamika politik pilpres yang akhir-akhir ini disaksikan oleh publik secara luas. Inkonsistensi sikap MK ini dapat menurunkan kredibilitas MK sebagai the guardian of constitution," tegasnya. ***Armen Foster
Dapatkan berita aktual lainnya, hanya tinggal klik Beranda di bawah ini.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !