![]() |
Prof.Dr. Syamsul Maarif, SH MH |
Makassar, Info Breaking News - Mediasi telah menjadi salah satu fokus utama dalam penyelesaian sengketa di Indonesia yang diatur secara resmi oleh Mahkamah Agung (MA). Sejak tahun 2002, MA telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
Kemudian, terbit Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Perma ini mengatur prosedur mediasi di pengadilan secara lebih sistematis dan terstruktur. Meskipun telah diterapkan SEMA 1/2002, namun masih belum juga memberikan dampak yang signifikan.
Demikian disampaikan Hakim Agung Syamsul Maarif yang menyoroti masih rendahnya efektivitas pelaksanaan mediasi di pengadilan, terutama terkait penggunaan jasa mediator non hakim. Menurutnya, berbagai upaya telah dilakukan MA untuk memperkuat sistem mediasi.
Mulai dari pelatihan dan sertifikasi mediator hingga penyediaan fasilitas penunjang secara gratis di berbagai pengadilan. Termasuk ruang khusus dan layanan Zoom untuk mediasi daring.
Mulai dari pelatihan dan sertifikasi mediator hingga penyediaan fasilitas penunjang secara gratis di berbagai pengadilan. Termasuk ruang khusus dan layanan Zoom untuk mediasi daring.
“Realita di lapangan nggak begitu berhasil. Kita sudah dorong ke mediator non hakim terutama di pengadilan kelas satu. Masyarakat lebih mau hakim, sementara kita tahu hakim ini sibuk dengan perkaranya,” ujar Syamsul Maarif saat berbincang dengan sejumlah media di Makassar, (Sabtu, 9/8/2025).
Syamsul Marif juga menyoroti persoalan kepercayaan publik terhadap mediator non hakim. Ia menilai hal ini masih perlu dikaji lebih dalam karena banyak faktor yang mempengaruhinya, termasuk persepsi biaya. Padahal, menurutnya, di sejumlah pengadilan seperti di Bandung, banyak mediator non hakim yang bersedia memberikan layanan secara cuma-cuma. Namun di sisi lain, masyarakat masih menganggap bahwa mediasi oleh hakim lebih ‘gratis’ dan terpercaya.
Lebih lanjut pria yang pernah menjabat Ketua Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) itu menerangkan perbedaan mindset antara hakim dan mediator turut menjadi tantangan tersendiri. Hakim terbiasa berpikir dalam kerangka hukum yang hitam-putih alias benar atau salah. Sementara mediator lebih proaktif menjalin komunikasi informal dengan para pihak, serta menavigasi persoalan melalui pendekatan non litigatif.
“Mediator profesional di negara-negara maju justru sangat diminati. Di Singapura dan London, biaya arbitrase sangat mahal sehingga mediasi menjadi alternatif utama. Mediatornya pun juga nggak harus sarjana hukum,” ujarnya.
Di beberapa negara sudah diterapkan skema spesialisasi mediator sesuai sektor. Seperti mediator khusus sektor konstruksi, perbankan, dan pasar modal, agar penyelesaian sengketa dapat lebih efektif. Indonesia seharusnya mulai mendorong terbentuknya ekosistem serupa.
Saat ini, menurut Syamsul sebagian besar mediator masih berlatar belakang sarjana hukum umum tanpa keahlian sektoral, yang membuat mediasi cenderung berjalan seperti proses pengadilan biasa. Dia menilai penguatan sistem mediasi dapat berkontribusi dalam mengurangi beban perkara di pengadilan.
“Kita dorong mediator non hakim membentuk sektor masing-masing. Kita ingin sengketa itu nggak semua ke pengadilan. Selesai di mediasi,” ujarnya.
*** Reporter : Windy Lia.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !