Headlines News :
Home » » Yurisprudensi Hukum Perkawinan dan Tata Kelolah Harta Warisan Terkait Hutang Piutang

Yurisprudensi Hukum Perkawinan dan Tata Kelolah Harta Warisan Terkait Hutang Piutang

Written By Info Breaking News on Sabtu, 09 Agustus 2025 | 05.38

Hakim Agung Yang juga Jubir MA, Prof. Dr. Yanto, bersama sohibnya Mr. Emil F Simatupang.

Salatiga, Info Breaking News - Dari dulu hingga sekarang dirasakan terlalu banyak pertikaian yang terjadi dikalangan sebuah keluarga yang tadinya baik baik saja berubah menjadi perpecahan karena adanya sifat serakah, egois dicampur rasa ambisi yang ingin memiliki, serta hadirnya pihak ketiga yang memberikan pendapat sesat yang menyimpang, sehingga terjadilah perkara main hakim sendiri, menang menangan, dan selalu saja ada pihak yang merasa paling benar dan paling berhak atas harta yang ditinggalkan oleh orangtua, atau pertikaian keluarga dimana suami isteri saling berebut harta yang ada.

Padahal sejatinya di dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia, perkawinan merupakan ikatan sakral, yang dipercaya masyarakat bernilai ibadah. Perkawinan tidak hanya menyatukan hubungan personal laki-laki dan perempuan, melainkan juga dua keluarga yang berbeda latar belakang sosial dan kehidupannya.

Berdasarkan ketentuan hukum Indonesia, perkawinan dinyatakan sah bilamana akad atau ikrar perkawinan dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing warga negara (vide Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan).

Sesuai Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, kedudukan negara dalam pelaksanaan perkawinan, terbatas hanya mencatatkannya sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pihak yang ingin melangsungkan perkawinan, juga wajib memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan UU Perkawinan, antara lain batas minimal usia perkawinan. 

Awalnya usia perkawinan minimal untuk pria 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Namun, batas usia perkawinan tersebut, diuji melalui judicial review pada Mahkamah Konstitusi. 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 membatalkan ketentuan pasal batas usia perkawinan, yang dinilai diskriminatif dan tidak menghormati Hak Asasi Manusia, sehingga bertentangan dengan konstitusi. 

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017, dilakukan perubahan UU Perkawinan, yang memberikan batas usia perkawinan, baik laki-laki atau perempuan, minimal 19 tahun.

Kedudukan dan peran suami isteri dalam perkawinan setara, baik dalam kehidupan rumah tangga dan kehidupan sosial bermasyarakat, sesuai ketentuan Pasal 31 Ayat 1 UU Perkawinan. Setaranya kedudukan, di mana baik suami dan isteri diberikan hak melakukan perbuatan melawan hukum (vide Pasal 31 Ayat 2 UU Perkawinan).

Selain itu, suami memiliki kewajiban melindungi isteri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga, yang disesuaikan dengan kemampuannya dan isteri berkewajiban mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, sebagaimana ketentuan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 UU Perkawinan.

Demikian juga, tanggung jawab mengurus dan mendidik anak yang lahir dari perkawinan, adalah tugas kedua orang tua (suami dan isteri) sampai dengan anak tersebut kawin atau berdiri sendiri, meskipun perkawinan telah berakhir, karena adanya perceraian, sesuai Pasal 45 Ayat 1 dan 2 UU Perkawinan.

Harta benda yang dihasilkan atau diperoleh selama perkawinan, merupakan harta bersama antara suami dan isteri. Sedangkan harta bawaan dari suami dan isteri sebelum terjadinya perkawinan, termasuk harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, berada dalam penguasaan pribadi suami atau isteri, kecuali ditentukan lain, berdasarkan Pasal 35 Ayat 1 dan 2 UU Perkawinan.

Ketentuan Pasal 36 Ayat 1 dan 2 UU Perkawinan, penggunaan harta bersama, suami atau isteri atas persetujuan kedua belah pihak tersebut. Adapun perbuatan hukum harta bawaan, hak penuh individu baik isteri atau suami untuk menggunakannya.

Apakah salah satu pihak (suami/isteri) yang menggunakan harta bersama untuk kepentingan keluarga wajib juga menanggung utang tersebut menggunakan harta bawaannya, seandainya harta bersama tidak mencukupi pembayaran utang?

Menjawab pertanyaan dimaksud, penulis akan menguraikan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 80 K/Sip/1976, yang telah ditetapkan menjadi Yurisprudensi MA RI, sebagaimana buku Rangkuman Yurisprudensi MA RI Seri II Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 80 K/Sip/1976, yang diputus Majelis Hakim Agung RI R. Saldiman Wirjatmo, S.H. (Ketua Majelis), dengan didampingi oleh Hendrotmo, S.H. dan Sri Widojati Wiratmo Soekito, S.H. (masing-masing Hakim Anggota), menjelaskan terhadap hutang keluarga (untuk kepentingan keluarga), sekalipun hutang dibuat pihak suami/isteri sendiri, maka pihak lain (suami/isteri), juga bertanggung jawab dengan harta pribadinya. 

Dengan demikian, ditarik kesimpulan hutang keluarga walaupun dibuat salah satu pihak, selain dibebankan kepada harta bersama dan seandainya harta bawaan tidak mencukupi, maka kepada harta bawaan pihak lain. 

Pengetahuan akan kaidah hukum perdata terakit harta gono gini ini menjadi sangat penting mengingat belakangan terjadi fenomena pemyimpangan bahkan berubah menjadi kasus kriminal seperti pembunuhan ditengah keluarga ataupun dalam tali persaudaraan, bahkan adanya kemunculan advokasi sesat dari segelintir orang yang mengaku pengacara hukum atau advokat, tetapi pengetahuan hukum beracaranya terlalu dangkal bahkan menyesatkan karena bayaran uang pendampingan yang nilainya cukup fantastis.

Semoga artikel hukum ini dapat menjadi pegangan masyarakat luas ditengah derasnya golobalisasi seperti uang ganti rugi yang sangat besar dari sebuah pembebasan tanah dan harta lainnya.

Penulis ; Mr. Emil Foster Simatupang

*** Wartawan senior bidang hukum, yang juga merupakan Ketua Forum Wartawan Mahkamah Agung (Forwama), sekaligus CEO Media Digital Breaking News Grup.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Advertisement

Featured Video

Berita Terpopuler

 
Copyright © 2012. Berita Investigasi, Kriminal dan Hukum Media Online Digital Life - All Rights Reserved