![]() |
| Hakim Bagus Irawan bertugas ke Mataram |
Jakarta, infobreakingnews - Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Suharto, terpaksa mengganti Hakim Bagus Irawan, yang selama ini menangani perkara 3 terdakwa pencucian uang , Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin, dimana sebelumnya akan dibacakan vonis terhadap ketiga terdakwa pada Rabu, (5/6/2013).
Suharto, merasa perlu menggantikan Bagus Irawan sebagai ketua majelis hakim perkara diatas kepada Hakim R.Iim Nurohim, mengingat adanya SK Mahkamah Agung kepada Bagus Irawan yang semustinya sejak sebulan lalu , Bagus Irawan mustinya sudah bertugas ditempat baru , yaitu PN Mataram, sebagaimana SK dari MA.
Hakim Bagus Irawan sendiri tidak bersedia memberi komentar prihal pergantian nya sebagai ketua majelis hakim dalam perkara diatas, meski tadinya akan diputus pada Rabu 5/6, “Saya sudah tidak menjadi Humas. Tolong
rekan-rekan Wartawan, mencari jawabannya melalui Humas yang sekarang,”
pintanya. Tapi, lanjut Bagus Irawan, jika tidak puas. Silakan, minta komentar
kepada Ketua Pengadilan.
Adapun Majelis Hakim yang baru, diketuai
R. Iim Nurohim. Sedangkan, para terdakwa merasa kecewa mendengar
sidang pembacaan putusan ditunda. Pasalnya, bolak balik dari Rumah
Tahanan menuju Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanpa hasil. Menurut
mereka, tuduhan Jaksa Penutut Umum (JPU) Mustofa, tidak benar. Apalagi
sampai menuntut hukuman penjara selama tujuh tahun atas diri mereka yang didakwa melakukan pencucian uang.
Perbuatan terdakwa, menurut JPU, melanggar
Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah
UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), jo
Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Namun, menurut Pakar Hukum Perdata, Hariman,
dalam kasus sengketa penjualan tanah Yayasan Fatmawati, diterapkan
UU TPPU kepada terdakwa perlu dipertanyakan?.
"Ini tidak ada perkara pokoknya. Ini
transaksi biasa, tapi tahu-tahu sudah diterapkan pasal pencucian uang,"
kata Hariman. Hariman menuturkan, sebelum jaksa menerapkan pasal tindak pidana
pencucian uang kepada para terdakwa harus ada putusan pengadilan terlebih
dahulu.
"Artinya, uang ini dari mana dan harus ada
putusan pengadilan, baru diterapkan pasal pencucian uang jika telah terbukti.
Perkara ini logikanya melompat, jadi pidana pokoknya tidak ada. Itu harus
sesuai undang-undang, harus ada pidana pokoknya," sesalnya.
Dia menambahkan, penjualan tanah Yayasan
Fatmawati itu merupakan jual beli biasa, sehingga tidak ada kewajiban pihak
penjual, yang mendapat kuasa dari Yayasan Fatmawati untuk menjual tanah
tersebut. Mereka pun tak punya kewajiban untuk menanyakan dari mana uang yang
digunakan untuk membeli tanah tersebut.
"Jadi, kalau kita melakukan jual beli
enggak perlu mengetahui uang itu, kecuali petugas PPATK atau petugas yang
berhak menanyakan. Secara hukum, jual beli itu sah jika sudah memenuhi Pasal 13
UU No 20 KUH Perdata," ungkap Hariman.
Sementara itu, kuasa hukum Yohanes Sarwono cs,
Hermawi Taslim mengatakan, kliennya tidak melakukan penipuan sebagaimana yang
dituduhkan. Selaku perantara yang diberi kuasa, mereka tidak menggelapkan uang karena
dana dari pembeli itu diserahkan ke pihak yayasan.
"Jadi apa dan siapa yang ditipu dan apa
yang digelapkan? Uang dari PT GNU, itu yang menerima Yayasan Fatmawati,"
jelasnya. Bahkan, sebelum jaksa dapat menerapkan pasal tindak
pidana pencucian uang kepada tiga terdakwa , maka harus ada putusan pengadilan,
bahwa uang sebesar Rp 20 milyar yang diterima Yayasan Fatmawati itu berasal
dari tindak pidana kejahatan. ***Syarifudin/ Mil



0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !