![]() |
Ilustrasi Tahanan KPK |
Jakarta, Info Breaking News –
Kehadiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 3 Tahun
2019 tentang Pengawalan dan Pengamanan Tahanan nampaknya menyebabkan sejumlah
tahanan KPK panas.
Berangkat dari rasa tak nyaman
yang dirasa sangat menjadi beban, 28 sosok tahanan rutan KPK cabang Gedung Merah Putih pun
memutuskan untuk melayangkan surat keberatan.
Dalam surat yang ditujukan
kepada sejumlah pihak, seperti Pimpinan/Komisioner KPK, Kepala Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih, Menteri Hukum dan HAM,
Ketua Komisi Nasional HAM, Ketua Komisi Ombudsman Nasional hingga Pimpinan
Komisi III DPR RI tersebut, mereka kompak menyebut bahwa keberadaan
Peraturan Pimpinan KPK Nomor 3 Tahun 2019 telah menyalahi aturan.
Pasalnya, peraturan terkait
tahanan sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. UU tersebut pun lebih lanjut telah dijabarkan melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Sedangkan untuk peraturan
yang lebih rinci, hal itu hanya diberikan kepada Menteri Hukum dan HAM oleh
Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
Mengingat hal tersebut, para
tahanan KPK menilai Peraturan Pimpinan KPK Nomor 3 Tahun 2019 itu bertentangan
dengan UU Nomor 12 Tahun 1995.
“Dengan demikian keberadaan
Peraturan Pimpinan KPK Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pengawalan dan Pengamanan
Tahanan, termasuk tahanan KPK jelas bertentangan dengan Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Permasyarakatan serta peraturan turunannya. Pimpinan KPK
tidak mempunyai hak, kewenangan dan
mandat yang diberikan oleh undang-undang untuk mengatur tentang tahanan
termasuk pengawalan dan pengamanan tahanan KPK,” berikut isi surat tersebut.
Persoalan lain yang menjadi
sorotan ialah terkait dengan Pasal 17 dari Peraturan Pimpinan KPK Nomor 3 Tahun
2019 yang mewajibkan tahanan yang akan berobat ke rumah sakit harus diborgol
dan mengenakan rompi tahanan KPK. Bahkan di butir ke-4, KPK hanya
memperbolehkan borgol dibuka di depan dokter yang akan memeriksa.
Hal itu lah yang dinilai para tahanan
telah mengusik kehidupan mereka. Aturan tersebut dipercaya bertentangan dengan
PP Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang,
Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan khususnya Pasal 4 ayat 2 yang
berbunyi:
Kepala Rutan/Cabang Rutan dalam melaksanakan tugasnya wajib
memperhatikan:
a.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia;
b.
Asas praduga tak bersalah; dan
c. Asas pengayoman, persamaan perlakuan
dan pelayanan, pendidikan dan pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat
manusia, terjaminnya hak tahanan untuk tetap berhubungan dengan keluarganya
atau orang tertentu, serta hak-hak lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan.
“Lagipula
kami merasa dengan diborgol dan mengenakan rompi tahanan di ruang publik (ruang
terbuka) akan sangat membahayakan keamanan dan keselamatan diri kami.” lanjut surat tersebut.
Lebih
lanjut dalam pembelaannya, para tahanan KPK juga menyebut bahwa mereka masih
berstatus tahanan KPK yang sedang dalam
proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan dan bukan
narapidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Untuk itu mereka meminta agar
Pimpinan KPK bisa memperlakukan mereka sesuai UU No. 12 Tahun 1995 serta
peraturan turunan yang berlaku.
“Termasuk kegiatan kami berobat ke rumah sakit
adalah hak kami yang dijamin oleh undang-undang. Kami sangat keberatan dengan aturan KPK yang melakukan pemborgolan dan meminta
kami mengenakan baju/rompi tahanan karena tindakan seperti ini bertentangan
dengan hak asasi manusia dan bertentangan dengan asas praduga tak bersalah.” Tutup surat tersebut.
Terkait bagaimana respons pemerintah beserta KPK dalam menanggapi surat keberatan tersebut, hal itu kini masih dalam tahap investigasi. ***Emil F. Simatupang
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !